Lebih cepat belum tentu lebih baik
Di dunia serba digital, tanpa disadari kita terjebak dalam stigma budaya kesibukan. Kalimat "saya sangat sibuk," sering kita ucapkan dengan sedikit kebanggaan karena dalam budaya kita, "sibuk" berarti "menjadi penting".
Dalam dunia simbol status, kita sering mengklaim bahwa bekerja lembur, pulang larut malam bahkan sampai tidur di kantor diartikan sebagai semangat, dedikasi dan profesionalitas kerja. Kita begitu mengagungkan kecepatan kerja dan kesibukan sehingga kata sifat lambat adalah sebuah kesalahan.
Padahal, kerja cepat sehingga kita merasa begitu sibuk bukan berarti kita produktif. Ketika kita "sibuk," biasanya itu berarti kita tidak produktif. Kita sudah sibuk mengecek berbagai notifikasi, dari WhatsApp, Instagram, email, linimasa berita. Tetapi kita tidak sibuk dengan apa pun yang menambah nilai nyata dalam hidup kita.
Kalender penuh tidak berarti kita menjalani kehidupan yang penuh produktivitas. Di sisi lain, rapat terus-menerus, notifikasi yang berdengung, dan obrolan rekan kerja yang mengisi begitu banyak hari kerja adalah lingkungan yang paling buruk untuk fokus pada apa yang kita butuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang berarti.
Munculnya Tren Gaya Hidup Slow Living
Slow Living, atau Hidup Lambat adalah penolakan terhadap kehidupan serba cepat yang mengagungkan kesibukan tanpa pikiran dan hasil. Slow Living bukan berarti malas, atau gaya hidup rebahan yang banyak dianut generasi muda jaman sekarang.
Hidup lambat di tempat kerja berarti fokus pada tugas yang membawa hasil dan menghilangkan kesibukan yang tidak berarti. Hidup lambat adalah tentang mengkonsumsi lebih sedikit dan mengambil pendekatan yang lebih lambat untuk kehidupan sehari-hari.
Kehidupan yang lambat dapat mencakup apa saja mulai dari makan dengan penuh perhatian hingga merencanakan liburan dan mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermakna. Ini adalah seperangkat nilai yang mengatakan lebih cepat tidak selalu lebih baik.
Gaya hidup Slow Living lahir dari gerakan slow food yang lebih mengutamakan masakan lokal dan tradisional ketimbang fast food. Ketika McDonald's ingin membuka gerai di Spanish Steps di Roma pada tahun 1986, sekelompok aktivis kuliner Italia berdemonstrasi. Mereka mengadakan pesta pasta besar-besaran untuk memprotes komersialisasi situs bersejarah tersebut. Mereka juga menulis sebuah manifesto yang kemudian menginspirasi momen hidup yang lambat.