Engkong Felix mengeluh itu sudah biasa. Namanya juga orang tua, sering rewel. Ada saja yang dikeluhkan.
Orang tua juga seringkali tidak bisa move on. Masih suka membayangkan romansa masa lalu. Engkong Felix juga begitu. Dirinya merasa masih tinggal di jaman dulu. Jaman di mana tulisan-tulisannya sering jadi Artikel Utama di Kompasiana. Jaman ketika Kompasiana disesaki para penulis "besar" politik yang tulisannya sangat berani dan selalu menangguk ribuan pembaca.
Itulah yang dikeluhkan Engkong Felix baru-baru ini. Si Engkong mengeluh Kompasiana sekarang penuh dengan -- meminjam istilah yang diciptakan Engkong Felix - artikel politrik yang sering auto-Headline.
Seperti kebanyakan orang tua, Engkong Felix tidak sadar jaman sudah berubah. Sama seperti ibu mertua saya yang menyangka presiden Indonesia masih tetap Soeharto.
Padahal kita tahu, setiap peradaban punya masanya sendiri. Beda jaman beda gaya dan perlakuan.
Begitu pula dengan Kompasiana. Sebagai media yang menggantungkan napasnya pada iklan dan pembaca, sudah tentu Kompasiana harus tumbuh dan berkembang mengikuti jamannya.
Kalau pembaca sekarang menginginkan tulisan-tulisan sopiler, eh maaf, spoiler manganime (manga dan anime), Kompasiana ya harus mengikuti selera ini. Kalau pembaca butuh politrik, artikel seputra tip dan trik, Kompasiana harus menyediakan ruang besar bagi penulis-penulisnya.
Hubungan Kompasiana sebagai media, dengan pengiklan dan pembaca itu seperti segitiga sama sisi. Pengiklan butuh media dengan pemirsa yang besar, pembaca butuh artikel sesuai selera mereka, dan media butuh pengiklan untuk menghidupi dirinya.
Sebagai social blogging atau platform blog bersama, Kompasiana adalah entitas bisnis. Sebagai entitas bisnis, tentu yang dipikirkan Kompasiana bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Karena itu, wajar apabila demi kelangsungan hidupnya Kompasiana mengejar jumlah pembaca sebanyak-banyaknya. Demi pemasukan dari iklan atau sponsorship, Kompasiana terus melecut Kompasianer agar bisa menulis artikel yang dibaca banyak orang.