Teman sekolah istriku, di usainya yang belum 50 tahun sudah punya 9 anak. Suatu ketika, dia melontarkan tantangan pada teman-temannya: Siapa yang berani punya anak melebihi yang saya punya, akan saya berangkatkan umroh.
Tentu saja tidak ada yang berani meladeni tantangan itu. Salah seorang temannya berkata, "Lha, biaya untuk menghidupi 10 anak satu tahunnya saja lebih mahal daripada biaya berangkat umroh.
Di lain kesempatan, istri saya ikut bertanya pada temannya itu, "Memangnya kamu gak repot mengasuh anak sedemikian banyak? Apalagi dari segi kebutuhan hidup mereka?"
"Alhamdulillah, sampai sekarang kami masih diberi kecukupan rezeki hingga bisa merawat dan membesarkan 9 anak," kata teman istriku.
***
Dulu, orangtua kita sering mengatakan banyak anak banyak rezeki. Itu sebabnya para orang tua jaman dulu punya keturunan yang banyak. Ibu mertuaku anak kedua dari 15 bersaudara, sedangkan aku sendiri tujuh bersaudara.
Lain jaman lain perlakuan. Sekarang siapa yang berani bermimpi punya banyak anak? Ungkapan banyak anak banyak rezeki sudah tidak berlaku lagi. Sebaliknya, punya banyak anak dianggap kebodohan tersendiri.
Banyak anak berarti pengeluaran juga bertambah. Banyak anak berarti ikut menambah beban pemerintah dan dunia, karena sumber daya pangan tidak berada dalam garis yang sama dengan populasi umat manusia.
Apakah itu berarti ungkapan banyak anak banyak rejeki hanya mitos?
Tidak juga. Yang sering tidak kita sadari adalah pengertian tentang rezeki itu sendiri. Selama ini kita memahami rezeki itu hanya uang dan harta. Padahal tezeki bukan hanya tentang harta saja.