Dalam sebuah pengajian, Ustaz Karim mengawali kajiannya dengan menyampaikan pesan tentang aib.
"Bapak Ibu jamaah yang kami hormati. Saya berdiri di sini, menyampaikan nasihat-nasihat dan ilmu agama, bukan berarti saya paling baik di antara bapak dan ibu sekalian. Saya tampak baik dan alim hanya karena Allah menutupi aib-aib yang saya miliki. Seandainya Allah membuka aib-aib tersebut, niscaya bapak ibu sekalian tidak akan mau mendengar ceramah saya. Bahkan untuk sekedar bergaul dan berkenalan dengan saya pun bapak ibu mungkin pula enggan."
Tertutupnya aib, merupakan nikmat tersembunyi. Mungkin saking tersembunyinya, kita sering tidak menyadari dan lupa mensyukurinya.
Sekarang coba bayangkan, seandainya Allah membuka semua aib yang kita miliki. Dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dari aib berbohong, mengutil barang tetangga, melirik wanita atau lelaki lain, hingga aib besar seperti selingkuh atau zina.
Kalau keadaan kita ditelanjangi habis-habisan seperti itu, apakah kita masih bisa menanggung malu? Apakah masih ada kerabat, tetangga, atau teman yang masih mau bergaul dan berdekatan dengan kita.
Karena, seperti yang disampaikan dalam pesan Ustaz Karim di atas, mungkin kita sendiri yang tidak mau bergaul dan berdekatan dengan orang-orang yang aibnya dibuka lebar.
Tidak ada manusia yang sempurna akhlaknya, kecuali Muhammad Rasulullah SAW. Ada yang suka bersedekah tapi jarang salatnya masih bolong-bolong. Ada yang rajin salat tapi pelitnya setengah mati.
Ada yang rajin puasa sunah tetapi masih pemarah. Ada yang penyabar tetapi jarang puasa karena tidak kuat menahan lapar. Ada yang tak pernah ketinggalan duduk di majelis ilmu tapi lisan masih tajam. Ada yang jarang hadir di pengajian tapi tutur katanya lembut.
Di antara keburukan yang diperbuat setiap orang, selalu ada kebaikan yang dimilikinya. Begitu juga dengan diri kita, di antara kebaikan yang kita punya, kita pun memiliki keburukan.
Sayangnya, kita lebih sering dan lebih mudah melihat keburukan orang lain, hingga dikatakan satu keburukan yang diperbuat menghapus seribu kebaikan yang sudah dilakukannya. Kita lebih sering mengingat dan membicarakan aib orang lain, sampai lisan kita tak pernah mengucapkan dan mengingat satu pun kebaikan yang sudah diperbuatnya.