Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Tidak Malukah Kita dengan Difabel Seperti Mereka?

Diperbarui: 6 Desember 2020   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran difabel yang beribadah bersama kita bisa menjadi pelajaran ketakwaan yang sangat berharga (dokpri)

Seorang tetangga saya mempunyai anak yang menderita down syndrome, yakni seorang yang mengalami kondisi keterbelakangan fisik dan mental.

Tiap pagi, si anak yang saya taksir berumur sekitar 14 tahun ini, berjalan keliling gang-gang di kampung sambil menggeret sepotong kayu bambu. Kadang-kadang dia ngomong sendiri, yang karena sindromnya itu omongannya menjadi tidak jelas didengar.

Suatu sore, saya mendapat kejutan ketika berjamaah salat maghrib di masjid. Anak yang menderita down syndrome tampak ikut salat berjamaah. Pakaiannya putih rapi, dengan sorban putih yang disampirkan di lehernya.

Usai salat, anak tersebut duduk bersila, tenang dengan muka ditundukkan. Tak nampak tanda-tanda bahwa anak yang duduk bersila tepat di depan saya itu menderita down syndrome. Penampilannya saat ikut salat maghrib berjamaah tadi benar-benar berbeda 180 derajat dengan penampilan sehari-harinya. Iseng saya menengok sekeliling masjid, tidak nampak bapak dari si anak tersebut ikut berjamaah.

Tidakkah kita malu?

Seorang anak, dengan kelainan fisik dan mental berusaha untuk ikut salat berjamaah di Masjid. Dan Allah menjadikan penampilan anak tersebut jauh berbeda dengan penampilan sehari-harinya.

Sementara sebagian dari kita, masih terasa berat untuk melangkahkan kaki ke masjid saat adzan salat lima waktu terdengar. Padahal kita dikaruniai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.

Pelajaran ketakwaan yang sama melalui orang difabel sebelumnya juga pernah saya peroleh sewaktu istirahat salat dhuhur di Masjid Agung Kota Batu. Saat melangkahkan kaki masuk ke ruangan dalam masjid, ada sebuah pemandangan yang membuat langkah saya terhenti seketika. Di sudut ruangan dekat jendela, seorang bapak tua terlihat seperti tertidur membujur miring di lantai berkarpet merah. Namun, gerakan selanjutnya dari sang bapak itu baru menyadarkan saya, sekaligus membuat hati saya langsung tersentak.

Bapak tua itu ternyata tidak sedang tidur. Tubuhnya yang membujur tersebut merupakan bentuk dari gerakan sujud. Beliau memang tidak dapat sujud dengan sempurna layaknya orang normal seperti saya.

Kakinya yang sebelah kiri adalah kaki palsu sebatas lutut. Sementara tangannya yang sebelah kiri juga tidak dapat berfungsi sempurna. Sehingga ketika sujud, beliau tidak dapat menopang lutut dan lengannya. Dipilihnya gerakan dan sikap yang termudah, yakni tidur miring.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline