Di kampung, beberapa orangtua memanggilku "Gus". Entah siapa yang mengawalinya aku tak tahu. Entah apa sebabnya, aku juga tak tahu. Mungkin karena mereka memandang muka ayahku yang seorang ulama atau kiai cukup terpandang di kampung halaman.
Panggilan 'Gus' memang identik dengan 'darah biru' kiai. Seseorang dipanggil "Gus" jika, dan hanya jika, orang itu keturunan laki-laki dari kiai yang cukup terpandang. Kalau sang kiai memiliki keturunan perempuan maka panggilannya "ning". Konon, sebutan "gus" berasal dari kata "bagus" karena rata-rata keturunan kiai itu ganteng-ganteng. Sedangkan sebutan "ning" berasal dari kata "bening" karena rata-rata putri kiai itu wajahnya bening nan ayu.
Panggilan "kiai" sendiri merupakan gelar khas Nusantara, khususnya Jawa. Penyebutan "kiai" ini berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau propaganda media massa. Intinya, sebutan "kiai" disematkan bagi orang-orang memiliki tingkat pengetahuan agama yang cukup tinggi dan membimbing masyarakat, baik di lingkungan pesantren atau bukan.
Makna Asli Gelar Ustadz
Kalau di kampung aku dipanggil "gus", di tempat aku mengaji malah dipanggil "ustaz". Tentu saja dengan segala kerendahan hati aku menolaknya karena aku pikir memang belum pantas dipanggil "ustaz". Kalau "gus" bolehlah.
Mengapa?
Secara harfiah panggilan ustaz memiliki makna yang cukup berat. Kata yang sudah masuk dalam KBBI ini berasal dari Bahasa Persia (ustadz) yang kemudian diserap oleh Bahasa Arab dan diserap lagi oleh Bahasa Indonsia. Dari asalnya, arti kata ustaz adalah 'pengajar', atau 'orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan mengajarkannya'. Bentuk jamaknya, asatidz.
Di Timur Tengah, gelar 'ustadz' disetarakan dengan gelar 'profesor'. Yakni mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di universitas atau al-jami'ah. Menurut pengertian masyarakat Timur Tengah, dalam kerangka sosial gelar 'ustadz' hanya layak diberikan pada orang yang sudah menguasai setidaknya dua belas cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits. Berat kan?
Jadi, gelar ustadz bisa disandang dengan melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi sekedar melalui audisi di layar televisi. Bisa berceramah pun bukan alasan untuk bisa dikategorikan ustadz.
Untuk penceramah, ada gelar yang lebih tepat untuk disematkan. Yakni muballigh (orang yang menyampaikan), da'i (orang yang mengajak) atau khathib (orang yang berceramah).
Makna Asli Gelar Habib
Kalau gelar 'ustadz' saja sudah memberatkan penyandangnya, apalagi gelar 'habib'. Ini bukan gelar sembarangan, yang bisa disematkan pada orang sembarangan pula.
Dari terminologinya, kata 'habib' 'berarti 'orang yang mencintai' alias 'kekasih'. Kata ini berakar dari kata hubb yang artinya 'cinta'.