Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Menguak Mitos dan Fakta Munculnya Lintang Kemukus

Diperbarui: 12 Oktober 2020   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komet Neowise tertangkap kamera di British Columbia (Vanexus Photography/Amir Hariri melalui globalnews.ca)

Masyarakat Jawa Timur, khususnya yang berada di Tuban dan Tulungagung dihebohkan dengan penampakan cahaya merah terang yang melintas di langit membentuk garis vertikal tegak lurus pada Sabtu (10/10) malam. Masyarakat kemudian menghubungkan penampakan tersebut dengan mitos Lintang Kemukus atau bintang berekor (komet) yang setiap kali terlihat biasanya diiringi dengan akan datangnya musibah besar.

Mitos Lintang Kemukus Berawal Dari Aristoteles

Membaca tetenger atau pertanda alam dan mengaitkannya dengan datangnya bencana tak hanya dikenal dalam budaya masyarakat Jawa. Jauh beribu-ribu tahun yang lampau, masyarakat dunia barat yang dianggap punya budaya lebih modern sudah mengaitkan tanda-tanda alam yang muncul di langit dengan kemungkinan musibah di bumi.

Aristoteles, filsuf Yunani Kuno adalah sosok yang dianggap bertanggung jawab atas mitos penampakan bintang berekor atau komet dan bencana alam yang menyertainya. Pada 372 SM, sebuah komet yang bersinar sangat terang dengan ekor panjang melintas di langit Athena. Aristoteles, yang saat itu menjadi guru bagi Alexander Agung melihat penampakan komet tersebut.

Mulanya Aristoteles tidak memiliki persepsi apapun terhadap penampakan benda langit yang sangat tidak biasa dan belum pernah dilihat siapapun saat itu. Baru setelah pada 373/375 SM (?) daratan Yunani diguncang gempa sangat hebat hingga menenggelamkan kota Helike di teluk Korintus, Aristoteles mulai menghubungkan penampakan bintang berekor dengan datangnya gempa bumi. Hingga kemudian Aristoteles mengeluarkan 'fatwa' bahwa munculnya bintang berekor merupakan pertanda akan datangnya bencana alam. 'Fatwa' dari Aristoteles ini bertahan hingga ribuan tahun kemudian.

Asal Usul Istilah Lintang Kemukus dan Mitosnya Dalam Budaya Jawa

Masyarakat Jawa termasuk salah satu yang terkena miskonsepsi (kesalahan pemahaman) tentang penampakan bintang berekor. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Jawa percaya munculnya bintang berekor biasanya akan disertai dengan datangnya musibah besar.

Dalam kosmologi Jawa, bintang berekor atau komet dikenal dengan nama Lintang Kemukus. Frasa ini berasal dari 2 kata, yakni lintang (bintang) dan kemukus. Kata kemukus sendiri mengandung dua arti, yakni dari akar kata kukus (artinya asap) dan tanaman kemukus (Piper cuceba L) yang pertumbuhannya merambat. Dari akar katanya ini, lintang kemukus kemudian diartikan sebagai bintang yang berasap atau merambat.

Mitos lintang kemukus yang menjadi tetenger atau penanda datangnya bencana muncul pertama kali dalam buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya. Menurut penjelasan sejarawan Universitas Malang, Dwi Cahyono, buku tersebut memuat beberapa pertanda menurut arah kedatangan lintang kemukus.

Misalnya kalau lintang kemukus muncul di barat laut, itu pertanda ada raja yang berebut kekuasaan. Para adipati juga berselisih, berebut kekuasaan. Sementara warga desa bersedih hati. Kerbau dan sapinya banyak yang mati. Hujan dan petir terjadi di musim yang salah. Kekurangan makin meluas dan berlangsung lama. Beras dan padi mahal, namun emas murah.

Apabila ada komet muncul di utara, maknanya ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahannya. Timbul perselisihan yang semakin berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal. Namun harga emas murah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline