"Kalau Nasution mendalangi kejatuhan Soekarno, mengapa malah Soeharto yang berkuasa usai pemberontakan G30S/PKI?" tanya Burhan.
"Inilah yang kusebut sebagai 'ketiban sampur'. Baik Nasution maupun Soeharto tak pernah terbersit keinginan untuk mengudeta Soekarno lalu menggantikannya berkuasa. Peristiwa Gerakan 30 September akhirnya mengubah jalannya sejarah. Jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto keduanya tak lepas dari campur tangan Nasution.
Setelah lolos dari upaya penculikan dan berhasil menggagalkan kudeta berdarah terhadap pimpinan tinggi Angkatan Darat, nama Nasution bersama Soeharto berkibar di hati rakyat Indonesia. Meski begitu, Nasution sendiri tak hendak mengambil kesempatan, sekalipun kesempatan itu terbuka sangat lebar. Kondisi batin Nasution masih terluka atas kematian putrinya Ade Irma Suryani yang meninggal pada 6 Oktober 1965 di RSPAD setelah menjalani operasi pengangkatan sisa peluru yang terakhir.
Nasution bisa saja mengambil alih kendali Angkatan Darat sekaligus kendali pemerintahan mengingat posisinya sebagai Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, ditambah posisi Soekarno dan PKI yang terjepit pasca Gerakan 30 September. Namun Nasution tak hendak melangkahi wewenang Panglima Tertingginya, Presiden Soekarno.
Dalam dua minggu pertama setelah G30S, Nasution malah terus membujuk Soekarno agar bersedia menunjuk Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Semula, Soekarno ngotot menginginkan Mayjen Pranoto, salah seorang petinggi Angkatan Darat yang loyal kepadanya, menggantikan Ahmad Yani. Soeharto sendiri oleh Soekarno hendak diplot sebagai Panglima Kopkamtib.
Terus menerus dibujuk, Soekarno akhirnya luluh juga. Pada 14 Oktober 1965, Soeharto ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat dan secara resmi menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Februari 1966 saat pembentukan Kabinet Dwikora II atau yang dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri," jelas Alim.
"Lalu, bagaimana dengan Nasution sendiri?" tanya Karto.
"Setelah PKI gagal menyingkirkan Nasution, Soekarno menyadari posisi Nasution semakin kuat. Benar Nasution tidak memiliki kekuasaan, tapi dia sudah memenangkan hati rakyat. Untuk itu, beberapa loyalis Soekarno berencana memutus langkah Nasution dengan menawarinya jabatan Wakil Presiden yang saat itu sedang kosong sejak mundurnya Muhammad Hatta pada 1 Desember 1956, ketika Soekarno mulai menjalankan demokrasi terpimpin.
Tapi Nasution menolak tawaran tersebut. Selain masih berduka atas kehilangan putrinya, Nasution merasa jika ia jadi Wapres maka Soekarno akan terus memimpin. Jika Soekarno tetap memimpin, Nasution khawatir PKI akan bangkit kembali dan situasi politik maupun keamanan di Indonesia semakin tidak terkendali.
Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Soekarno tanpa harus ada pertumpahan darah kembali adalah melalui MPRS. Nasution melihat bahwa Soekarno telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS, maka hanya MPRS saja yang dapat mencabut keputusan tersebut sekaligus melengserkannya. Pada Maret 1966, Nasution akhirnya berhasil menjadi Ketua MPRS," jelas Alim melanjutkan ceritanya.