Menjelang maghrib, Arif sudah mematut diri di depan cermin. Dikenakannya baju koko yang baru diseterika. Rambutnya disisir rapi, lalu ditutupi peci. Tak lupa, Arif menyemprotkan sedikit wewangian di beberapa bagian bajunya.
Setelah merasa dirinya "good looking", Arif kemudian melangkahkan kaki menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Belum setengah perjalanan di tengah kumandang adzan, Arif berpapasan dengan seorang ibu muda yang sedang jalan-jalan sore sambil menyuapi anaknya.
"Aduh, tumben nih rapih banget, kayak pak ustadz, mau kemana sih Rif?" tanya ibu muda itu.
Sekilas pertanyaan tadi biasa saja, karena memang mereka saling kenal. Kita pun mungkin pernah mengalami kejadian seperti itu. Tapi, kadang muncul juga sebuah pertanyaan:
Mengapa orang yang hendak pergi ke masjid dengan pakaian rapi dan memang semestinya seperti itu ditumbenin?
Padahal orang salat itu ibaratnya menghadap Sang Pencipta. Datang ke masjid ibaratnya bertamu ke rumah Allah. Maka, sudah semestinya kita sebagai tamu harus memantaskan pakaian dan penampilan.
Lha wong kita kalau dipanggil presiden saja berdandan setengah mati dan wajib mengikuti protokoler istana presiden. Jangankan dipanggil presiden, diundang pak Lurah saja kita langsung bongkar-bongkar lemari pakaian, mencari baju terbaik yang hanya dipakai di saat-saat tertentu.
Nah, ini dipanggil Allah, menghadap Allah di rumah-Nya. Sudah tentu kita harus berpenampilan terbaik. Tak perlu pakai baju baru, minimal penampilan kita enak dipandang alias "good looking".
Rasanya malu kalau kita bertamu dan menghadap Allah, penampilan kita acak-acakan seperti gelandangan.
Makanya, saat pak Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan cara paham radikal masuk adalah melalui orang yang berpenampilan baik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang bagus, banyak pihak yang sangat keberatan.