Mataku rasanya baru saja terpejam usai menyelesaikan beberapa pekerjaan saat kudengar bunyi sepeda motor mendekat ke halaman rumah. Kulihat sebentar jam di layar ponsel, pukul 03.30, sudah menjelang subuh.
Khawatir ada apa-apa, aku beranjak keluar kamar hendak mengintip halaman depan. Baru saja kusibakkan korden jendela ruang tamu, suara sepeda motor itu perlahan menjauh. Namun, bukan suara heningnya malam yang menggantikannya, melainkan suara mengeong yang tajam.
Kubuka pintu depan, dan kulihat di depan pagar rumah ada seekor anak kucing mungil, mungkin baru berusia 2 bulan. Pikiranku langsung menebak anak kucing itu sengaja dibuang oleh pengendara sepeda motor yang tadi kudengar suaranya sempat berhenti di depan rumah.
Coba pikir sendiri, mana mungkin ada anak kucing 2 bulan bisa jalan-jalan sendirian di saat kucing-kucing seusianya tidur dalam dekapan induknya?
Setelah kuberi susu dan makanan kaleng, anak kucing itu pun berhenti mengeong. Kusiapkan kandang bekas si Bundel untuk ditempati. Usai menghabiskan susu dan makanannya, anak kucing itu lantas tertidur pulas. Oleh putraku, anak kucing mungil itu diberi nama Flash.
Maaf, Rumahku Bukan Tempat Penampungan Kucing Liar
Aku tidak tahu mengapa kucing itu dibuang di depan rumahku. Mungkin saja orang itu, entah aku mengenalnya atau tidak tahu perihal kesukaanku memberi makan kucing-kucing liar.
Memang, di lingkungan tetangga satu gang, aku dikenal suka memberi makan kucing liar. Aku sendiri tidak mengadopsi kucing-kucing kampung itu karena di rumah sudah ada 4 ekor kucing yang kupelihara. Aku hanya tidak tega melihat kucing-kucing liar mengais makanan di tempat sampah, hingga seringkali mereka diusir para tetangga.
Daripada kucing-kucing itu memporakporandakan sampah tetangga, ya sudah kuberi makan saja. Namun, masalah lain mulai muncul. Aku mendengar bisik-bisik tetangga yang mengeluh beberapa kucing liar kerap membuang kotoran di jalan sepanjang gang rumahku.
Kubiarkan saja bisik-bisik yang kudengar di belakang punggungku itu. Pikirku, orang desa saja tidak mengeluh sapi atau kambing tetangga mereka buang kotoran di jalan-jalan desa . Bagiku, selama kucing-kucing liar tidak mengotori rumah tetanggaku, ya sudah.
Sekali waktu ada tetangga yang terus terang mengeluh dan menuduh seekor kucing liar yang kuberi nama Buncel membuang kotoran di halaman rumahnya. Atas permintaannya, akhirnya kubuang si Buncel itu di pasar biar dia tidak kesulitan mencari makan.
Karena sering kuberi makan, kucing-kucing liar itu akhirnya sering berkumpul di depan rumahku. Malah ada seekor induk kucing yang sudah dua kali melahirkan di rumahku dan sekarang masih mengasuh anak-anaknya dengan berkeliaran di depan rumah.