Kelak, kita akan mengingat Hari Raya Idul Fitri 1441 H adalah Idul Fitri yang paling berkesan, sekaligus mengharukan. Sejarah pun akan mencatat, ini pertama kalinya umat Islam sedunia memanfaatkan teknologi sepenuhnya untuk saling bersilaturahmi.
Di saat sebagian umat Islam di Indonesia harus salat Id di rumah, aku bersyukur masjid di kampungku masih menggelar salat Id berjamaah. Itu pun dengan protokol kesehatan yang ketat.
Heningnya Suasana Lebaran di Tengah Pandemi
Shaf salat dibuat berjarak. Warga yang hendak ikut salat Id diwajibkan membawa sajadah sendiri dan memakai masker. Takmir masjid sendiri sudah menyediakan masker gratis untuk berjaga-jaga bila ada warga yang lupa atau memang sengaja bandel tidak memakai masker dari rumah. Di pintu masjid, setiap orang yang hendak masuk masjid harus membasuh kedua tangan dengan handsanitizer.
Khutbah Salat Id yang biasanya cukup lama kali ini singkat saja. Khatib berpesan kepada jamaah untuk senantiasa menjaga iman dan takwa. Mengutip firman Allah dalam surah Al Balad ayat 10-16, khatib menjelaskan bahwa amalan ketakwaan yang utama saat dunia dilanda pandemi, saat banyak umat manusia ditimpa kemalangan adalah bersedekah.
"...atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir" (QS. Al Balad: 14-16).
Usai salat, tak ada jabat tangan seperti yang biasanya kami lakukan untuk mengucapkan salam Idul Fitri ke setiap orang terdekat yang kami temui. Tak ada pula tradisi berkunjung-kunjungan, sekalipun itu ke tetangga sekitar. Seolah-olah, virus corona membuat jarak diantara kami kian menjauh.
Praktis, suasana kampung benar-benar sepi dan hening. Kami memang berlebaran, tapi tidak merayakan.
Heningnya suasana lebaran membuat kerinduan pada keluarga di kampung halaman semakin membuncah. Tak ada jalan lain selain melampiaskan kerinduan itu dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada.
Bersilaturahmi Visual Lewat WhatsApp Grup
Satu per satu kami menghubungi dulu paman dan bibi, dan beberapa saudara jauh ayah ibu kami yang dituakan. Setelah itu, melalui pesan di grup WhatsApp keluarga, kami janjian untuk video call bersama. Bukan dengan Zoom atau Google Meet, kami bersilaturahmi virtual lewat menu panggilan grup di WhatsApp. Lebih sederhana, dan tak banyak memakan kuota internet.
Memang, fitur panggilan grup di WhatsApp tidak bisa diikuti banyak orang. Hanya 8 pengguna WhatsApp saja yang bisa diundang. Tapi itu sudah cukup karena kami hanya 7 bersaudara.