Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Iuran BPJS Kesehatan Tidak Naik, tapi Bohong

Diperbarui: 14 Mei 2020   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak salah bila seluruh rakyat Indonesia merasa sudah terkena "prank" oleh presiden Jokowi (foto: Antara Foto/Sigid Kurniawan melalui detik.com)

Baru saja aku menikmati hasil putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sekarang sudah mau dinaikkan lagi. Saat membayar iuran BPJS Kesehatan bulan April kemarin, tagihan BPJS Kesehatan kembali ke tarif awal, yakni sebesar Rp. 25.500 untuk kelas 3.

Tarif ini sesuai dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi. Sebelumnya sejak Januari 2020, aku rutin membayar BPJS Kesehatan dengan tarif baru menurut Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan, sebesar Rp. 42.000 untuk kelas 3.

Jadi, selama 3 bulan aku membayar dengan tarif baru. Itu pun kelebihan pembayaran yang sudah kulakukan belum juga dikembalikan BPJS Kesehatan.

Padahal, pemerintah sendiri berjanji akan menghitung ulang dan mengembalikan kelebihan pembayaran iuran peserta secepatnya, setelah presiden menandatangani Perpres yang akan mengaturnya. Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf, BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran dan "akan dikembalikan segera setelah ada aturan baru atau disesuaikan dengan arahan dari pemerintah."

Ternyata, aturan baru yang ditunggu BPJS Kesehatan itu berupa kenaikan ulang. Sesuai dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018  yang baru saja ditandatangani Presiden Jokowi, iuran BPJS Kesehatan kembali naik, dengan rincian kenaikan dan tahapannya sebagai berikut:

  • Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, Tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu.
  • Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
  • Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Lantas, untuk apa keputusan MA yang sudah mengikat dan wajib dilaksanakan itu jika ternyata pemerintah melawannya dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Sebenarnya, lebih tinggi mana sih produk hukum di negara kita, keputusan Mahkamah Agung atau Peraturan Presiden?

Ini yang membuat kepala rakyat semakin pusing. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi seolah sudah mempermainkan hukum. Susah payah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Perpres Nomor 75/2019 ke MA, jika ternyata keputusan MA dilawan dengan menerbitkan Perpres yang substansinya sama.

Padahal, substansi kenaikan iuran inilah yang dibatalkan oleh MA. Dalam amar putusannya, MA menilai kenaikan iuran BPJS melanggar UUD 1945. Pada prinsipnya, jaminan sosial termasuk di dalamnya adalah jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin UUD 1945. Kenaikan iuran di tengah beban hidup rakyat yang semakin berat melanggar prinsip hak asasi manusia yang semestinya mendapat jaminan dari negara.

Perpres Nomor 64/2020 juga seolah menunjukkan itikad tidak baik dari pemerintah dalam melaksanakan putusan MA yang sudah final, mengikat dan berlaku surut. Memang, ada selisih Rp. 10.000 dibanding tarif kenaikan yang pertama, sehingga Perpres yang baru ini terlihat berbeda dengan Perpres Nomor 75/2019.

Namun, secara faktual bisa dilihat ini hanya taktik pemerintah untuk mengakali dan menghindari putusan MA. Pola kerja semacam ini tak sesuai dengan ketentuan hukum tata negara yang baik, sebab tidak memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline