Menulis Cerita Pribadi = Menjual Hidup?
"Kamu itu kayak menjual hidupmu saja," kata seorang teman yang mampir ke rumah tanpa basa basi sebelumnya.
"Eh, ada apa ini. Ujug-ujug bilang saya menjual hidup. Duduk dulu, ambil nafas panjang, baru cerita. Mau kopi apa teh?"
"Gak usah repot-repot. Aku cuma mampir sebentar," kata teman saya sambil duduk di kursi teras rumah.
Tak urung saya perhatikan wajahnya. Biasa saja, tak menampakkan raut muka kesal seperti lontaran kalimat pertamanya tadi.
"Ya sudah, sekarang coba cerita, mengapa kamu bilang saya menjual hidup. Kamu nuduh saya main pesugihan gitu?"
"Bukan, ini gak ada hubungannya dengan pesugihan. Tulisanmu itu loh. Kamu kan sering menulis artikel yang dibumbui cerita pribadi, pengalaman pribadimu. Memangnya harus diceritakan gitu ya?" kata teman saya menjelaskan singkat.
"Lho, apa salahnya? Justru yang lagi tren sekarang itu tulisan berdasarkan pengalaman pribadi. Pembaca lebih percaya apabila penulisnya mengalami sendiri."
"Yah, kamu menulis itu kan dapat honor. Dengan menulis cerita pribadimu, kamu seperti orang yang menjual hidup. Itu yang aku maksudkan."
Begitulah, percakapan singkat dengan teman saya itu seperti membuka cakrawala baru. Benarkah menulis cerita pribadi sama dengan menjual hidup sendiri?
Memang, ada banyak pembaca yang menganggap cerita pribadi tak patut diceritakan dan dibagikan untuk umum. Mereka tidak tertarik dengan aktivitas harian, pencapaian pribadi, atau momen tertentu yang dialami penulisnya.