Dalam Islam, poligami itu diperbolehkan, titik. Ada dasar hukum agamanya, ada dalilnya, titik. Bagi yang tidak berkepentingan, tak perlu kiranya ikut serta memperdebatkannya.
Lalu mengapa hingga sekarang masih banyak yang mempermasalahkan poligami?
Poligami Dianggap Memicu Ketidakadilan
Saya melihat ada semacam pembelokan opini, bahwa praktik poligami itu dianggap tidak adil. Setidaknya ada dua ketidakadilan menurut mereka yang kontra poligami.
Pertama, letak ketidakadilan itu menurut beberapa pria karena akan mengurangi kesempatan mereka untuk mendapatkan cinta seorang wanita. Setiap pria harusnya diberi kesempatan yang adil untuk menemukan seorang istri. Inilah yang dinamakan ketidakadilan distributif.
Argumen keadilan distributif didasarkan pada gagasan bahwa banyak wanita akan memilih untuk menjadi istri pria kaya kedua, ketiga, dan keempat. Dengan begitu, kesempatan bagi pria yang berpenghasilan menengah ke bawah akan semakin kecil, bahkan bisa jadi mereka akan dibiarkan tanpa akses menuju jenjang pernikahan.
Alasan kedua datangnya dari para wanita. Menurut para wanita yang tidak mau dimadu, praktik poligami mengurangi hak mereka untuk mendapatkan cinta suami seutuhnya. Inilah yang dinamakan ketidakadilan cinta.
Padahal, Islam justru menjunjung tinggi keadilan dalam praktik poligami. Islam mensyaratkan dengan ketat, bahwa hanya pria "yang mampu berlaku adil" saja yang diperbolehkan, atau dipersilahkan untuk poligami.
Logika Matematika dalam Praktik Poligami
Masalahnya, "keadilan" dalam poligami itu seringkali dilihat berdasarkan logika matematika. Baik bagi yang pro maupun kontra.
Misalnya, wanita menganggap poligami itu tidak adil karena mengurangi "hak cinta" mereka. Menurut logika matematika mereka yang kontra poligami, seorang pria yang memiliki dua istri atau lebih, maka cinta, perhatian dan kasih sayangnya tentu akan terbagi pula.
Kadar cinta suami itu 100 persen. Bila ia punya dua istri, tentu cintanya akan terbelah, masing-masing istri hanya kebagian cinta 50:50.