Sebagaimana sejarah masuknya kopi di Indonesia, menelusuri jejak sejarah kopi di Malang tak lepas dari sejarah perkebunan. Tidak ada catatan pasti mulai kapan tanaman kopi masuk ke wilayah Malang.
Diperkirakan tidak lama semenjak kultivar kopi dari Batavia menuai sukses dan kemudian disebar ke wilayah koloni Belanda lainnya. Catatan sejarah menunjukkan perkebunan kopi mulai marak ditanam di Malang pada era Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang kebijakannya dikeluarkan oleh gubernur jenderal Van Den Bosch. Tepatnya sejak tahun 1832 ketika pemerintah kolonial memulai pembukaan lahan di kawasan Kabupaten Malang untuk penanaman lahan perkebunan kopi.[1]
Dari Daerah Militer Menjadi Perkebunan Kopi
Sebelumnya, wilayah Malang bukanlah wilayah perkebunan atau dikatakan wilayah yang mempunyai kepentingan ekonomi bagi Belanda. Secara geografis, daerah Malang boleh dikatakan penuh dengan hambatan alam karena dikelilingi dua pegunungan, yakni pegunungan Arjuna-Panderman-Kawi di sebelah barat dan Bromo-Semeru di sebelah timur.
Sisi positifnya tanah di wilayah Malang subur karena kaya akan abu vulkanik dan sumber air. Tak heran jika di akhir abad ke-19 banyak terdapat onderneming atau perkebunan. Sebelum tanaman kopi masuk, perkebunan di Malang ditanami tebu dan tembakau.
Di sisi lain, bentang alam di Malang membuat daerah ini sedikit terisolasi dan perkembangan daerahnya menjadi agak terlambat. Dari segi militer, kondisi ini terbilang menguntungkan karena bisa dijadikan benteng alam. Pada pertengahan awal abad XVIII, kawasan ini menjadi basis perlawanan terhadap aliansi Kumpeni-Mataram.[2]
Namun, semenjak kopi ditanam di Malang, wajah wilayah ini perlahan mulai berubah. Pemerintah kolonial Belanda pun mulai menaruh perhatian dan menjadikan Malang sebagai basis perkebunan kopi sekaligus sasaran eksploitasi.
Perubahan ini dimulai dari kebijakan Ordonansi Priangan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal H.W. Daendels di tahun 1808. Ketika itu, Daendels mengeluarkan peraturan berisi kewajiban penanaman kopi di daerah lain di Jawa dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Kabupatenan Priangan.[3]
Ordonansi Priangan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan dari Gubernur Jenderal Du Bus Gesignes (1826-1829) yang mengeluarkan perintah mengubah semua tanah-tanah yang belum digarap, termasuk sebagian tanah di daerah hutan, untuk dijadikan sebagai lahan produktif. Kawasan perkebunan kopi berpusat di daerah Penanggungan, Karanglo, Sengguruh, Turen dan Ngantang. Selama 1 tahun yaitu pada 1901 penduduk di kawasan ini mampu menyetor 3831 pikul kopi.[4]
Dampak dari kebijakan ini merambah sampai ke wilayah Karesidenan Pasuruan. Ini diperkuat oleh catatan dari Residen Pasuruan yang mengatakan bahwa antara tahun 1827 hingga 1830 penduduk Kabupaten Malang - yang hanya sejumlah 40.000 jiwa dapat menghasilkan 57.000 pikul kopi.[5]
Dibangunnya Jaringan Transportasi Kereta Api di Malang
Salah satu dampak terpenting dari aktivitas perkebunan adalah perluasan jaringan transportasi. Sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang berorientasi pasar inter-nasional, perusahaan perkebunan menuntut kemudahan transportasi untuk menghin-darkan terjadinya penyusutan kualitas dari produk yang dibawa. Beberapa titik produksi terletak di pedalaman sehingga menuntut adanya penghubung antara pusat produksi dengan daerah pengumpul.
Besarnya produksi kopi di Afdeeling Malang saat itu membuat pemerintah kolonial Belanda mulai membangun berbagai sarana transportasi dan praktis pada akhirnya mengubah wajah kota Malang. Hal ini karena para penanam kopi itu membutuhkan waktu cukup lama untuk mengangkut kopi dari daerah pedalaman ke onderdistrik kota.