Di tengah derasnya informasi dan berita tentang aksi demonstrasi mahasiswa, sebuah peristiwa duka dan memilukan nyaris kita abaikan. Kerusuhan di Wamena, hingga kabar terakhir sudah menelan korban meninggal dunia sebanyak 22 jiwa.
Perhatian masyarakat Indonesia saat ini memang tengah tertuju pada gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa. Berbagai situs berita nasional menempatkan aksi demo dan rapat pembahasan beberapa RUU yang kontroversial di DPR sebagai tajuk utama mereka.
Tak terkecuali di Kompasiana. Sepanjang Selasa (24/9), saya belum menjumpai satu pun tulisan yang mengabarkan kerusuhan Wamena. Deretan headline dan artikel pilihan juga tidak menampakkan informasi tentang aksi unjuk rasa berujung kerusuhan anarkis di Wamena.
Ada apa ini? Apakah - mengutip istilah dari Kang Pepih Nugraha- peristiwa kerusuhan di Wamena "kurang seksi"?
Saya mencoba membandingkannya dengan peristiwa unjuk rasa berujung kerusuhan yang terjadi di Manokwari dan Sorong beberapa waktu lalu. Banyak berita dan opini yang ditulis terkait dengan peristiwa tersebut. Bahkan Kompasiana sampai membuat topik pilihan, mengajak Kompasianer menyerukan semangat persaudaraan.
Sementara kerusuhan di Wamena yang menelan korban jiwa sampai puluhan orang nyaris terabaikan. Padahal jatuhnya para korban kerusuhan itu sangat tragis dan memilukan.
"22 meninggal dunia, 1 di rumah sakit yang kritis," tutur Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal lewat pesan singkat, Selasa (24/9/2019) dikutip dari CNNIndonesia. Kamal juga membenarkan adanya 6 anggota Brimob yang menderita luka berat.
Kamal menyebut, dari puluhan korban tewas tersebut, ada di antaranya yang terjebak dalam bangunan yang terbakar.
"Mereka ada satu keluarga yang terjebak, dibakar massa rumahnya," jelas Kamal.
Kabar yang beredar menyebutkan semua korban tewas adalah para penduduk pendatang. Namun, tidak ada penjelasan atau konfirmasi resmi dari pihak berwenang.