Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Penulis Cerdas Itu Pilihan Kata dan Bahasanya Sederhana

Diperbarui: 8 Januari 2019   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (unsplash.com/@skabrera)

Jika diminta untuk menulis sebuah artikel, bagaimana kamu memilih kata-kata dan menentukan bahasanya?

Apakah penuh dengan kata atau istilah yang ilmiah, intelektual dan akademis serta bahasa yang rumit supaya terlihat cerdas dan pintar, atau yang sederhana dan apa adanya, sesuai dengan apa yang kita pikirkan pertama kalinya?

Menekankan apa yang kita ketahui saat menulis dengan menggunakan kata-kata yang ilmiah atau intelektual memang baik. Setidaknya itu bisa menimbulkan kesan tersendiri bagi pembaca.

Tapi hati-hati, karena ada penelitian yang mengatakan penggunaan kata-kata ilmiah dan intelektual bisa menjadi bumerang. Dikhawatirkan, pembaca akan menilai yang sebaliknya. Alih-alih terlihat cerdas, pembaca mengira kita seperti orang palsu, atau seperti penulis yang tidak cukup pintar untuk memahami pembacanya.

Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Daniel M. Oppenheimer di Princeton University, dan diterbitkan dalam jurnal Applied Cognitive Psychology menunjukkan bahwa menggunakan kata-kata yang panjang dan terdengar akademis daripada kata-kata sederhana dan lebih mudah dipahami membuat orang berpikir kita kurang cerdas. Responden penelitian menemukan bahwa semakin paham mereka akan apa yang sedang dikomunikasikan melalui tulisan, semakin cerdas pula pesan/tulisan tersebut.

Penelitian yang berjudul Consequences of Erudite Vernacular Utilized Irrespective of Necessity: Problems with Using Long Words Needlessly ini mencakup serangkaian percobaan yang dirancang untuk menguji fenomena yang berlawanan ini. Terlebih dahulu, sebuah survei disebar pada 110 mahasiswa tingkat akhir di Standford. Hasilnya, sebagian besar mengakui bahwa mereka mengubah kata-kata dalam esai akademiknya agar terdengar lebih cerdas dengan menggunakan pilihan kata atau bahasa yang rumit.

Dalam satu percobaan, para peneliti memilih abstrak disertasi sosiologi dengan banyak pilihan kata-kata panjang. Mereka juga membuat sebuah versi "yang disederhanakan" dengan mengganti setiap kata dari sembilan huruf atau lebih dengan entri terpendek kedua dalam tesaurus (daftar kata dalam kelompok sinonim dan konsep terkait) dari Microsoft Word 2000. Para peneliti kemudian meminta 35 mahasiswa Stanford untuk membaca disertasi tersebut dan menilai kecerdasan penulis serta seberapa sulit tulisan itu untuk dipahami.

Hasilnya, para mahasiswa menilai bahwa versi yang disederhanakan memang dianggap kurang kompleks -- tetapi penulisnya dinilai lebih cerdas.

Menariknya, satu percobaan lain menemukan bahwa pemikir terkenal dianggap lebih pintar ketika tulisan mereka lebih sederhana. Para mahasiswa responden penelitian diminta untuk membaca sebuah bagian dari karya Rene Descartes yang berjudul "Meditasi IV" Hanya beberapa responden saja yang diberitahu bahwa penulisnya adalah Descartes. (Semua mahasiswa tersebut sudah tahu bahwa Descartes adalah filsuf Prancis abad ke-17, tetapi mereka mungkin tidak membaca karya yang spesifik ini.)

Kemudian, setengah dari mahasiswa diminta membaca versi terjemahan bahasa Inggris yang lebih sederhana dan setengahnya lagi membaca versi terjemahan yang lebih kompleks. Hasilnya, responden menilai penulis "Meditasi IV" terlihat lebih cerdas ketika tulisannya lebih mudah dipahami - bahkan ketika mereka tahu kalau si penulis itu jelas-jelas Descartes.

Pandangan awam dan umum memang sering mengisyaratkan bahwa pilihan kosakata yang lebih kuat, lebih ilmiah dan intelektual terkait dengan kecerdasan yang lebih tinggi. Tapi, penelitian yang dilakukan tim dari Princeton University diatas justru membalikkan pendapat tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline