Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengenal Sophie Hannah, Novelis yang Menghidupkan Kembali "Hercule Poirot"

Diperbarui: 13 Desember 2018   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

novel Hercule Poirot The Monogram Murders (dok. Himam Miladi)

Sewaktu pertama kali melihat novel ini di rak buku Gramedia Bali, 2 tahun yang lalu, saya langsung tertarik sekaligus penasaran. Tertarik, karena ada nama Hercule Poirot di dalamnya. Dan penasaran, karena nama pengarangnya bukan Agatha Christie, si Ratu cerita misteri itu. Nama yang tertera di bagian bawah sampul buku berjudul "The Monogram Murders" ini adalah Sophie Hannah.

Siapa pula dia? Setahu saya, dan juga para pembaca serta penggemar novel Agatha Christie, Hercule Poirot sudah mati. Dalam novel berjudul "Tirai" yang diterbitkan pertama kali tahun 1975, Hercule Poirot mati setelah menyelesaikan salah satu misteri pembunuhan terberatnya.

Kematian salah satu detektif fiktif yang paling terkenal di dunia ini mengejutkan dunia nyata, dan dinilai sangat penting untuk dikabarkan sehingga surat kabar New York Times khusus membuat obituari di halaman depannya, "Hercule Poirot Is Dead". Inilah pertama kalinya sebuah karakter fiksi dalam novel ditandai dengan obituari khusus di surat kabar terkenal.

Maka, ketika saya menjumpai novel dengan mengambil karakter tokoh yang sudah mati, ditulis oleh penulis yang berbeda, rasa penasaran itu semakin tergugah. Tanpa berpikir panjang, saya pun membeli "The Monogram Murders".

Sebenarnya sudah terlambat juga saya menuliskan resensi dan perkenalan mengenai sosok Sophie Hannah. Novel dengan karakter Hercule Poirot yang dihidupkan kembali ini pertama kali terbit di Inggris tahun 2014 yang lalu. Saat membongkar koleksi bacaan di rumah dan menemukan buku ini kembali, baru terpikir oleh saya untuk membuat tulisan tentangnya.

Kesan pertama saat membaca buku ini adalah membingungkan. Penyebab utamanya adalah font huruf yang aneh, tidak seperti font yang digunakan pada buku-buku novel Hercule Poirot yang lainnya. Entah font huruf apa yang dipakai. Ini membuat saya merasa tidak nyaman saat membacanya.

bentuk font huruf buku The Monogram Murders yang memusingkan (dok. Himam Miladi)

Dari sisi penceritaan, saya juga masih belum bisa melepaskan diri dari cara Agatha Christie menuturkan kisah petualangan Hercule Poirot. Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna, diselingi humor-humor satir yang ringan yang dimasukkan secara halus sehingga tidak mengurangi nuansa cerita yang ditangkap pembacanya.

Sementara gaya bercerita Sophie Hannah saya anggap agak membosankan. Saya tidak tahu apakah ini efek dari gaya bahasa si penterjemah atau memang bawaan dari Sophie Hannah sendiri.

Satu lagi yang yang cukup mengganggu dari gaya bercerita Sophie Hannah adalah penggunaan frasa Bahasa Prancis yang terkesan dipaksakan dan dibuat-buat. Hercule Poirot seolah sering "dipaksa" untuk mengucapkan "Mon ami", "Non", "Eh Bien", dan frasa Perancis lainnya.

Padahal Hercule Poirot-nya Agatha Christie nggak begitu-begitu amat. Bahasa campuran Inggris-Perancis yang dipakai Agatha Christie pada detektif Belgia kesayangannya terdengar begitu alami.

Oleh Sophie Hannah, novel "The Monogram Murders" mengambil latar tahun 1929. Hercule Poirot sendiri digambarkan masih berusia setengah baya, sedikit lebih muda daripada usianya yang digambarkan dalam "Tirai". Karena novel ini bukan kelanjutan dari Tirai, usia Poirot yang digambarkan masih belum tua tidak terlalu dipermasalahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline