Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Kopi Sridonoretno, Primadona Kopi Dampit Malang

Diperbarui: 9 Desember 2018   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kopi Sridonoretno (dok. pribadi)

"Cucuku, dulu waktu aku masih anak-anak, makmur benar keadaan kita. Pada waktu itu alun-alun masih dikelilingi pagar tanaman jarak dan masih di dalam kekuasaan Kanjeng Regent (Bu-pati). Di sebelah Lor (utara)- dimana sekarang ada lapangan tenis, dahulu ada loods-loods (los-los) tempat penyimpanan kopi milik Kanjeng Gouvernement. Pada saat oogst (panenan) kopi, beberapa loods itu penuh sesak (kopi) sehingga tidak dapat termuat semuanya. Dari hari ke hari, dari pagi hingga sore cikar bermuatan kopi dari desa beserta pemiliknya datang tidak henti-hentinya. Aku bersama teman-temanku bermain-main di dekat loods-loods itu dan biasanya diberi persen oleh penjual kopi tadi (Tjahaja Timoer 29 Juli 1921).

Kutipan diatas diambil dari surat kabar Tjahaja Timoer. Sebuah surat kabar lokal Malang yang diterbitkan percetakan Kwee Khai Khee dan berkantor di Regentstraat dan Kidul Pasar, Malang.

Kutipan itu juga memberi gambaran pada kita bahwa sejak jaman kolonial dulu, komoditas kopi menjadi salah satu komoditas andalan Pemerintah Hindia Belanda. Dan Regentschap Malang, termasuk salah satu daerah penghasil utama kopi bagi pemerintah Hindia Belanda.

Sejarah Perkebunan Kopi Di Malang

Sebelumnya, wilayah Malang bukanlah wilayah perkebunan atau dikatakan wilayah yang mempunyai kepentingan ekonomi bagi Belanda. Perubahan wajah daerah Malang dimulai dari kebijakan Ordonansi Priangan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels di tahun 1808. Ketika itu, Daendels mengeluarkan peraturan berisi kewajiban penanaman kopi di daerah lain di Jawa dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Kabupatenan Priangan (Breman, 2014).[1]

Ordonansi Priangan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan dari Gubernur Jenderal Du Bus Gesignes (1826-1829) yang mengeluarkan perintah mengubah semua tanah-tanah yang belum digarap, termasuk sebagian tanah di daerah hutan, untuk dijadikan sebagai lahan produktif. Kawasan perkebunan kopi di Malang dan sekitarnya berpusat di daerah Penanggungan, Karanglo, Sengguruh, Turen dan Ngantang. Selama 1 tahun yaitu pada 1901 penduduk di kawasan ini mampu menyetor 3831 pikul kopi.[2]

Perkebunan kopi di kawasan Turen kemudian meluas hingga ke daerah Dampit. Dari sinilah kemudian nama Kopi Dampit, Malang mulai terkenal.

Sejak era kolonial, para petani kopi di Dampit belum mengetahui cara memetik buah kopi secara benar. Mereka hanya asal-asalan memetik buah kopi. Buah kopi (cherry) yang ada di pohon diambil satu brendel begitu saja. Sehingga semua buah kopi yang berwarna merah, kuning bahkan hijau mentah ikut diambil. Padahal, seharusnya buah kopi itu bukan diambil satu brendel, tetapi dipetik dan dipilih buah kopi yang bewarna merah tua.

Dengan cara pemetikan yang salah itu, semakin lama harga kopi Dampit semakin turun. Selain permainan tengkulak, juga akibat proses pemetikan dan pasca panen dari kopi yang tidak memenuhi standar.

Munculnya Kopi Sridonoretno

Untuk memperbaiki kualitas biji kopi serta meningkatkan kesejahteraan petani kopi di Dampit, pada tahun 2011 sekelompok petani kopi di tiga desa membentuk asosiasi Gabungan Kelompok Tani (Gapotan) Sridonoretno. Nama ini diambil dari nama tiga desa di wilayah Dampit, yaitu desa Srimulyo, Sukodono dan Baturetno.

Salah satu pengurus Gapotan Sridonoretno, Sukri menuturkan awal mula terbentuknya Kopi Sridonoretno.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline