Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengenal Teknik Propaganda "Firehose of Falsehood" yang Bisa dilakukan Jokowi-Ma'ruf

Diperbarui: 7 November 2018   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mengamati linimasa media sosial atau media massa, nyaris tidak ada pemberitaan yang mendalam perihal asumsi dasar ekonomi makro untuk Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2019. Dalam Rapat Badan Anggaran yang digelar pemerintah bersama DPR pada 16 Oktober 2019 lalu, salah satu poin yang disepakati adalah perubahan asumsi nilai tukar rupiah yang dipatok pada level Rp. 15 ribu per dolar AS.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perubahan nilai tukar rupiah menjadi Rp. 15 ribu per dolar AS masih dianggap wajar. Perubahan asumsi ini juga akan diikuti dengan peningkatan pendapatan negara sebesar Rp. 10,3 triliun, dan kenaikan belanja negara sebesar Rp. 10,9 triliun.

Berita ini hanya dibahas sekilas saja. Hampir tidak ada opini atau tanggapan dari para pakar ekonomi hingga warganet. Padahal berita ini semestinya memiliki bobot pemberitaan yang penting. Terutama mengenai patokan kurs rupiah yang menyentuh angka Rp. 15 ribu per dolar AS.

Dengan asumsi itu, pemerintah seolah sudah menyerah untuk menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebelumnya, dalam RAPBN-P asumsi nilai tukar rupiah dipatok pada kurs Rp.14.500 per dolar AS.

Kita tentunya ingat sebelum pilpres 2014 ada keyakinan dari publik bahwa seandainya Jokowi menjadi presiden, nilai tukar rupiah terhadap dolar akan menjadi Rp. 10 ribu. Saat itu, nilai tukar rupiah di pasar uang berada pada level Rp. 12 ribu-an per dolar AS.

Faktanya, hingga 4 tahun menjabat, nilai tukar rupiah terus merosot hingga pada akhirnya pemerintah menyerah dan memutuskan untuk mematok asumsi nilai tukar rupiah menjadi Rp. 15 ribu. Jauh dari keyakinan awal sebelum Jokowi menjabat.

Selain itu, menyimak pernyataan dari Menkeu Sri Mulyani, kita juga dihadapkan pada fakta bahwa dengan naiknya asumsi nilai tukar rupiah, anggaran belanja lebih besar daripada anggaran pendapatan. Bagi orang yang tidak melek ekonomi makro pun bisa melihat bahwa ada defisit dari APBN negara kita.

Mengapa berita seperti ini tidak ramai dibahas?

Teknik Propaganda Firehose of Falsehood

Kita lebih suka membahas dan meributkan hal-hal yang remeh saja. Di luar pemberitaan tentang kecelakaan pesawat Lion Air, kita lebih suka membahas berita hoax Ratna Sarumpaet, berita perang tempe antara Sandiaga Uno dan Presiden Jokowi. Dan yang terbaru, kita lebih suka meributkan Tampang Boyolali.

Dalam ilmu komunikasi politik, fakta ini bisa dibilang termasuk dalam teknik penyampaian pesan dengan strategi "Firehose of Falsehood". Pada tahun 2016, organisasi penelitian nonpartisan RAND merilis studi tentang teknik pesan yang terlihat di media yang dikontrol Kremlin. 

Hasil dari teknik ini adalah bentuk "Propaganda Rusia yang menghibur, membingungkan dan menguasai penonton." Yang dimaksudkan RAND adalah sebuah kondisi dimana rakyat Rusia dibanjiri informasi dan berita-berita yang masuk dalam kategori phony (tidak sungguh-sungguh) atau pemberitaan seputar hal-hal yang remeh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline