Iklan salah tanggal Sumpah Pemuda dari Bukalapak sukses mencuri perhatian. Ketika iklan itu pertama kali terpasang, dan kemudian menjadi viral, banyak komentar yang masuk di akun media sosial Bukalapak. Umumnya mempertanyakan apakah Bukalapak tidak salah mencantumkan tanggal Sumpah Pemuda.
Iklan ini juga memicu perdebatan di kalangan marketer hingga orang awam. Ada yang mengira itu kesalahan dari percetakan. Namun sebagian besar kalangan marketer menganggap, ini adalah strategi marketing untuk mencuri perhatian.
Dan memang benar. Dalam sebuah tayangan iklan di media televisi, CEO Bukalapak Ahmad Zaky mengucapkan terima kasih atas berbagai tanggapan tentang iklan mereka. Tak lupa, Ahmad Zaky juga mengatakan banyaknya tanggapan terhadap iklan tersebut menjadi bukti bahwa masih banyak yang peduli terhadap hari Sumpah Pemuda.
Dari sisi marketing, Bukalapak sukses menerapkan ilmu "ride the moment" sekaligus mencapai titik awareness/attention yang tinggi dengan memplesetkan tanggal Hari Sumpah Pemuda. Sebagaimana dulu saingan mereka, Tokopedia pernah memasang iklan dalam posisi terbalik sehingga menyita perhatian masyarakat yang melihatnya.
Strategi ini memang sukses, tapi juga menyisakan sebuah pertanyaan tersendiri. Apabila strategi salah tanggal ini kemudian ditiru banyak pihak, dikhawatirkan masyarakat akan terbiasa dengan penulisan yang salah, baik itu tanggal maupun kosakata.
Ini tentu saja menjadi sebuah kontradiksi. Susah payah kita membangun budaya literasi yang baik dan benar, eh dengan entengnya dijungkirbalikkan begitu saja atas nama sebuah strategi marketing untuk menarik perhatian khalayak.
Ketika ada spanduk ucapan Idul Fitri yang bulan atau tahun Hijriahnya salah misalnya, si pemasang spanduk buru-buru memperbaikinya. Entah khawatir terkena bullying atau memang dia sadar bahwa penulisan yang salah itu tidak baik dan tidak elok diperlihatkan. Bukan "mencari pembenaran" dengan memasang iklan klarifikasi bahwa " terima kasih, ternyata masih ada yang peduli dengan penanggalan Hijriah".
Bagaimana seandainya nanti ada momen-momen tertentu lainnya, misalnya Hari Pahlawan yang semestinya 10 Nopember kemudian "ditungganggi" dengan memasang iklan yang tanggalnya dirubah menjadi "11 Nopember". Jika strategi seperti ini ditiru dan kemudian dibiasakan, masyarakat seolah dikondisikan untuk menerima hal yang salah. Sesuatu yang semestinya diperbaiki menjadi benar akan dibiarkan begitu saja dengan alasan, "strategi marketing".
Semakin lama, ini bisa menjadi ajang pembodohan bagi masyarakat. Bayangkan, jika itu dibaca anak-anak, dan ketika dia ditanya, "Tanggal berapa terjadinya Sumpah Pemuda?" Si anak itu akan menjawab "Tanggal 29 Oktober". Karena dia terbiasa melihat spanduk iklan dan menganggap apa yang ada di spanduk itu adalah hal yang benar.
Dalam dunia bisnis, segala cara mungkin akan dilakukan untuk menciptakan momen dan menciptakan titik awareness yang tinggi. Namun seharusnya diingat pula, ada nilai etika yang menjadi pondasi dasarnya.
Ada sebuah contoh "ride the moment" yang masih mengedepankan nilai etika dan tidak memberi contoh sesuatu yang salah, tapi tetap bisa mencuri perhatian audiens. Influencer Kemal Palevi pernah tersandung masalah dan dihujat warganet. Penyebabnya, Kemal mengunggah video prank yang didalamnya terdapat scene ia bertanya ukuran BRA ke siswi SMP. Isu ini menjadi besar, hingga diberitakan oleh media massa online.