Oleh murid-muridnya di SMA Kolese Jhon De Britto Yogyakarta, Y. Sumardiyanto dijuluki Guru Gokil. Namun bagi kalangan penerbit, media, hingga penulis buku atau novelis, dia adalah J Sumardianta, nama pena yang dipilihnya saat menulis berbagai resensi buku.
J. Sumardianta adalah pembelajar sejati, book worm, yang menjadikan buku tak hanya sekedar bahan bacaan atau alat untuk meluaskan wawasan dan memperdalam pemahaman. Dalam epilog yang ditulis Emmanuel Dapa Loka, guru gokil ini mengatakan, "Saya amat mencintai buku. Perasaan saya sampai berdesir-desir bila buku itu sungguh menyantuni kebutuhan batiniah saya." Bagi Sumardianta, buku bisa membekali dirinya dengan aneka kecakapan lunak untuk hidup dengan cerdas pada zaman turbulen dan makin tidak pasti ini.
Kecintaannya pada buku membuat berbagai tulisannya penuh dengan wawasan pengetahuan, lokal maupun global. Setiap artikelnya disesaki dengan kosakata dan diksi intelektual yang masih tetap enak dibaca karena disajikan dengan gaya bahasa yang sederhana, lugas dan populer.
Buku Guru Gokil Murid Unyu ini berisi antologi artikel Sumardianta yang pernah dimuat di media nasional seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos hingga portal Berita Satu dan berbagai jurnal pendidikan. Tak hanya artikel tentang resensi buku atau novel, Sumardianta membawa 20 tahun pengalaman hidupnya kedalam buku setebal 291 halaman ini (termasuk epilog tentang profil penulis dari Emmanuel Dapa Loka, yang pernah diterbitkan di The Jakarta Post dengan judul "An Avid and Prolific Book Reviewer").
Dibagi dalam 6 chapter, Sumardianta mengawali buku ini dengan antologi Kacamata Sang Pendidik. Di dalamnya, terdapat 7 artikel yang berisi pengalamannya mengajar, pandangannya terhadap sistem pendidikan di Indonesia, serta bagaimana kiat menjadi guru yang gokil. Dalam Guru Lebay Murid Alay, Sumardianta mengatakan di era digital sekarang, seorang guru tidak mungkin menghindari gadget.
Murid jaman sekarang, meminjam julukan dari Haidar Bagir adalah digerati, Digital Generation Society alias Gen C (Connected Generation). Sementara Guru, sebagian besar adalah dharmati, dharma society, masyarakat yang lahir sebelum jaman digital.
Karenanya, cara pandang guru dan murid tentu saja menjadi berbeda. Untuk itu, seorang guru harus bisa mengikuti cara pandang muridnya. Jika muridnya alay, guru pun harus lebay. Jika muridnya unyu, guru harus menjadi gokil. Guru gokil adalah guru yang menguasai teknologi informasi sekaligus mendayagunakannya bagi pembentukan karakter murid.
Dalam rangka mempersiapkan materi ajar supaya dekat, konstektual dan relevan dengan realitas keseharian siswa jaman digital, menurut Sumardianta kuncinya cuma satu: perbanyak membaca buku! Ibarat seorang juru masak sedang berbelanja, bahan-bahan masakan itu diperoleh dari buku-buku bacaan yang kemudian diolah menjadi tulisan-tulisan pendukung kegiatan belajar mengajar di kelas.
Saking banyaknya membaca buku yang seolah sudah mendarah daging, Sumardianta dikenal memiliki wawasan yang luas. Buku ini selalu diawali dengan kutipan-kutipan dari orang-orang terkenal yang relevan dengan pokok bahasan artikelnya. Sumardianta juga piawai mengaitkan sebuah aforisma, metafora, alegori hingga peristiwa teraktual dengan pola pikir dan gagasan yang dia jabarkan.
Seperti ketika dia memilih kisah seorang raja yang mengadakan sayembara lukisan kedamaian dengan peristiwa penyelamatan 33 pekerja tambang di Chile yang dipimpin langsung presidennya Juan Sebastian Pinera Achenique. Inilah presiden yang menurut Sumardianta berjiwa pemenang. Seorang guru gokil pun sejatinya juga harus bermental pemenang, bukan mental survivors. Kebanyakan guru tujuan hidupnya bukan menjadi pemenang, melainkan sekedar "hidup", bahkan "menumpang hidup" (sekedar survive).
Tak hanya piawai meresensi buku, Sumardianta juga memiliki pengamatan yang tajam terhadap obyek benda, tempat atau manusia. Seperti ketika dia menuturkan sosok Butet Kartaredjasa. Ihwal perkenalannya dengan Butet karena anak pertamanya, Giras Basuwondo sekolah di SMA Kolese Jhon De Britto, tempat ia mengajar.