Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Kopi "Klotok" dan Euforia Piala Dunia di Desa

Diperbarui: 1 Agustus 2018   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

secangkir kopi klotok (dok.pribadi)

Tak perlu jadi seorang pengamat sepakbola yang kompeten untuk bisa mengomentari setiap pertandingan Piala Dunia. Sepakbola adalah sihir yang sangat kuat. Yang bisa membuat seorang bapak tua dari desa menjadi komentator profesional.

"Sudah berapa-berapa Pak?" tanya saya kepada bapak tua yang duduk di dekat pintu sebuah warung kopi di tepi jalan raya desa Jiken, Kabupaten Blora Jawa Tengah. Saat itu pertandingan Jerman melawan Mexico sudah berlangsung di pertengahan babak kedua.

"1-0, Jerman kalah", jawab bapak tua tersebut sembari menoleh dan tersenyum. Matanya kemudian berpaling lagi ke layar televisi tabung berukuran 24 inchi yang terletak di atas meja di sudut warung kopi itu. Beberapa pembeli juga terlihat

Saya kemudian duduk di sebelahnya dan memesan secangkir kopi.

"Kopi klotok dua bu".

Pemilik warung mengangguk, dan berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan kopi pesanan saya.

Kopi klotok adalah sebutan untuk kopi hitam di desa ini. Sebenarnya kurang tepat disebut kopi, karena bahan dasar pembuatannya nyaris tidak ada kopi murninya. Sekitar 95% bahan yang digoreng untuk kemudin diseduh dan disebut kopi adalah kacang hijau dengan campuran jagung. Bubuknya sangat halus. Rasanya mirip dengan Kopi Ijo khas dari Tulungagung. Hanya saja Kopi Ijo Tulungagung ada aroma sangit/gosong, seperti bau kayu bakar.

Kopi klotok merupakan menu khas yang ada di hampir setiap warung kopi di daerah Blora, Lasem, Cepu hingga Bojonegoro. Cara menyajikannya juga bukan diseduh dengan air panas. Melainkan langsung dimasak. Bubuk kopi dimasukkan dalam panci yang berisi air yang sudah mendidih, kemudian dimasak selama kurang lebih satu menit. Mirip dengan cara penyajian Kopi ala Turki.

Tak lama kemudian kopi sudah terhidangkan. Di meja warung kopi itu, terhampar berbagai macam gorengan yang masih hangat. Sebuah mangkuk putih berisi lombok berukuran besar siap terletak di dekat baki berisi gorengan hangat tersebut. Saudara saya yang ikut nongkrong malam itu kemudian memesan nasi. Menunya? Nasi putih dengan sedikit sayur tauge diguyur bumbu pecel yang pedas yang disajikan diatas pincuk daun jati. Lauknya silahkan ambil sendiri, berupa gorengan tempe berselimut tepung tebal, kerupuk, atau weci/ote-ote.

Kembali lagi ke bapak tua dan Piala Dunia. Sambil matanya tak lepas dari layar televisi, sesekali bapak tua itu mengomentari setiap insiden yang terjadi. Dia menganalisa bahwa Jerman terlalu bernafsu menyerang, sehingga lini pertahanan mereka jadi sasaran dari serangan balik Meksiko yang cepat. Saya pun hanya bisa mengangguk dan mengiyakan setiap analisanya.

dokumentasi pribadi

Euforia Piala Dunia tak hanya melanda perkotaan saja. Di desa pun, Piala Dunia mendapatkan perhatian yang intens dari warga. Tak ada obrolan yang terjadi tanpa diselingi topik tentang Piala Dunia. Entah itu sekedar menanyakan jadwal, analisa pertandingan, hingga tebak-tebakan skor yang berujung pada pertaruhan kecil-kecilan.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline