Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Jauh atau Dekat, Mudik Wajib Dilakukan

Diperbarui: 7 Juni 2018   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

antrian para pemudik di pelabuhan Gilimanuk (dok.pribadi)

Sudah dua tahun ini tradisi mudik saya berubah. Dulu, saya sangat menikmati suasana mudik antar kota antar propinsi dan antar pulau. Dua tahun belakangan, saya cukup puas mudik jarak dekat saja. Istilah kekiniannya, mudik tipis-tipis. Naik kereta api yang memakan waktu tidak sampai 3 jam.

Bicara tentang mudik, saya lebih suka menggunakan moda transportasi darat. Bahkan meskipun mudik itu berjarak jauh, lintas propinsi dan lintas pulau. Cuma sekali saja saya mudik naik pesawat terbang. Selebihnya, saya memilih naik bus, kereta, atau kalau beruntung bisa mendapatkan tumpangan mobil mudik bersama teman.

Ada alasan tersendiri mengapa saya lebih memilih jalur darat yang memakan waktu lama daripada jalur udara yang lebih cepat. Ada suasana khas yang tidak bisa saya dapatkan jika mudik naik pesawat terbang. Ya keramaiannya, ya macetnya, ya antriannya. Keramaian lalu lintas, lalu lalang para pemudik di titik-titik antrian maupun tempat pemberangkatan seperti terminal, stasiun atau pelabuhan penyebrangan. Celoteh-celoteh para pedagang yang menawarkan barang dagangannya pada para pemudik dan masih banyak lagi.

Suasana seperti itu tak bisa saya dapatkan jika saya mudik naik pesawat terbang. Pokoknya, khas banget. Mudik melalui jalur darat adalah mudik yang sesungguhnya. Ada perjuangan tersendiri di dalamnya. Antrian yang panjang di tol atau pelabuhan, macet di jalan, itu semua di hari-hari biasa mungkin dirasakan sangat menjengkelkan. Tapi percayalah, di musim mudik lebaran, antri dan macet itu justru menjadi seni tersendiri.

Saat mudik tipis-tipis belakangan ini, suasana seperti itu tidak saya dapatkan. Meski saya masih mendapatkan keramaian para pemudik di stasiun kereta api. Berdesak-desakan mencari tempat duduk di gerbong kereta kelas ekonomi. Tapi karena jarak tempuh yang dekat, saya seolah kehilangan semangat perjuangan untuk mudik. Jauh di lubuk hati, ada kerinduan untuk bisa merasakan suasana mudik seperti dulu.

Mudik, bagi saya lebih dari sekedar tradisi. Jauh atau dekat, mudik tetap harus dilakukan. Mudik adalah salah satu sarana aktualisasi jiwa sosial kita. Dari individu yang sering egois, melalui mudik kita bisa belajar merajut tali ikatan kebersamaan. Saat macet, antri di pelabuhan atau di pintu gerbang tol, kita bisa saling tegur sapa dan memperkenalkan diri hingga timbul keakraban perbincangan. Tak ada batas komunikasi, karena semua merasa senasib sepenanggungan, mudik bersama.

Mudik, juga bukan lantaran ada tradisi sungkeman, minta maaf pada orang tua atau pada kerabat dan teman di hari raya. Toh, minta maaf bisa dilakukan setiap saat, apalagi pada orang tua. Masak harus menunggu satu tahun sekali baru mau minta maaf? Mudik seolah jadi sebuah kewajiban karena hanya di waktu lebaran inilah keluarga bisa berkumpul bersama. Dalam peribahasa Jawa, "ngumpulno balung pisah", mengumpulkan tulang yang terpisah. Artinya, keluarga yang semula tersebar akhirnya bisa berkumpul bersama.

Dan pada akhirnya, karena ritual mudik-lah kita tahu bahwa kita masih hidup di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline