Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Ramadhan Waktu Kecil, Masjid Adalah Rumah Kedua

Diperbarui: 3 Juni 2018   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (dok.pribadi)

Masa kecil adalah masa yang paling bahagia. Mengingat masa kecil kita seakan membawa nostalgia tersendiri yang membuat kita kadang tersenyum atau menangis. Terutama saat bulan Ramadan dan Idul Fitri. Seandainya ada mesin waktu, tentu kita semua berbondong-bondong ingin kembali, mengulang masa kecil yang pernah kita alami.

Sebagai anak kampung, saya benar-benar merindukan suasana Ramadan saat masih kecil. Apapun yang kita lakukan sebagai kanak-kanak seakan tanpa menanggung beban kehidupan yang berat. Sebagaimana yang dialami orang tua mereka.

Di waktu kecil, masjid adalah rumah kedua saya. Hampir setiap malam, selama bulan Ramadan tempat tidur saya adalah beranda masjid di kampung. Beralaskan tikar, berselimut sarung. Suasana masjid di kampung seolah tak pernah mati. Ramai dengan anak-anak kampung yang bermalam disana.

Tentu saja kami, anak-anak kampung ini tidak cuma sekedar numpang tidur saja. Menderas Al Qur'an adalah kegiatan wajib yang kami lakukan usai sholat tarawih. Mengelilingi bangku yang ditata memutar, kami bergantian membaca ayat-ayat suci Al Qur'an. Seakan sebuah perlombaan, kami membaca Al Qur'an dengan tilawah terbaik yang kami bisa. Seakan ada rasa bangga suara kami didengar warga seantero kampung lewat pengeras suara masjid yang nyaris tak pernah dimatikan hingga pagi menjelang.

Yang kami suka saat tadarus di masjid dan tidur disana adalah karena ada banyak makanan selama bulan Ramadan. Setiap malam, warga bergiliran mengirim aneka gorengan, kue basah, seceret kopi atau teh, dan kadang ada pula yang berbaik hati mengirim nasi bungkus.

Pukul 2 dinihari, kami bersiap untuk keliling kampung, berpatroli membangunkan warga untuk makan sahur. Anak-anak yang masih tertidur di beranda masjid seperti tumpukan ikan pindang itu dibangunkan. Alat musik yang kami pakai adalah kentongan bambu. Sebagian besar peninggalan dari tahun-tahun sebelumnya. 

Jika ada yang rusak, kami menggantinya dengan membuat yang baru. Tanaman bambu di kampung kami saat itu masih sangat banyak. Tanah-tanah kosong milik sebagian warga kebanyakan ditanami bambu. Anak-anak yang tidak kebagian kentongan memilih galon air yang jika dibunyikan menyerupai suara drum.

Jangan samakan musik patrol jaman saya kecil dengan musik patrol yang dimainkan anak-anak sekarang. Sambil berjalan keliling kampung, dari satu gang ke gang yang lain kami memainkan musik patrol yang rancak dan berirama. Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang yang buta nada,  seringkali membangunkan warga hanya mengandalkan suara keras saja.

Saat berkeliling biasanya kami berpapasan dengan anak-anak dari masjid kampung sebelah. Saat seperti inilah yang paling seru. Bukannya saling mengejek hingga timbul tawuran, kami malah saling mengadu kreativitas memainkan musik patrol. Sambil duduk di tengah jalan yang sepi, bergantian kami memainkan musik, saling sahut menyahut.

Kurang lebih satu jam lamanya kami berkeliling kampung. Setelah mengembalikan kentongan ke masjid, kami pun pulang ke rumah masing-masing. Tak nampak raut lelah atau mengantuk di wajah kami yang polos ini. Karena saat itu sekolah libur satu bulan selama Ramadan, kami tak memusingkan bagaimana kondisi tubuh di pagi harinya. Bagi kami, bulan Ramadan seolah mengganti jadwal dan lokasi tidur. Dari yang terbiasa di rumah, berpindah ke masjid. Dari yang biasa tidur malam, berganti jadwal menjadi pagi hingga siang hari.

Kenangan-kenangan masa kecil itu kini tersimpan di memori. Sesekali saya buka dan menceritakannya kembali ke anak-anak. Sekedar untuk menunjukkan pada mereka, betapa bahagianya masa kecil orang tua mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline