Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Ramadan Harusnya Jadi Momentum Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Diperbarui: 3 April 2018   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pasar takjil bulan Ramadhan yang selalu ramai (qraved.com)

Tidak terasa kurang dari dua bulan lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan suci dimana umat Islam di seluruh dunia diwajibkan untuk berpuasa. Iklan-iklan bernuansa Ramadhan dan bertemakan puasa sudah hilir mudik di layar televisi. Tentunya umat Islam sudah tidak sabar untuk segera menemui bulan yang penuh hikmah tersebut.

Jika masyarakat bergairah menyambut datangnya bulan Ramadhan, Pemerintah kita malah pusing memikirkan lonjakan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Rutinitas yang selalu berjalan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan. Inilah anehnya bulan Ramadhan di negeri kita. Seperti sebuah paradoks tersendiri.

Jika dinalar secara sederhana, semestinya saat bulan puasa tiba harga pangan turun dan ketersediaannya cukup atau terjadi surplus pasokan. Hal ini karena pada bulan Ramadhan umat muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia "semestinya" mengurangi pola konsumsinya karena aktivitas berpuasa di siang hari. Dengan adanya aktivitas tersebut, secara logika tingkat konsumsi dan belanja barang (terutama bahan makanan) seharusnya menjadi turun.

Kata "semestinya" pada paragraf di atas sengaja saya beri tanda kutip karena faktanya konsumsi makanan atau belanja barang justru meningkat selama bulan Ramadhan. Saya mengambil contoh data dari Dinas Pertanian Kota Padang dalam sebuah berita sebelum bulan Ramadhan tahun kemarin, yang menyatakan kebutuhan beras masyarakat di Kota Padang, Sumatera Barat, mengalami kenaikan sekitar 20 persen memasuki Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah.

Kenaikan konsumsi beras, dan juga bahan pangan lainnya seperti ini tentunya tak hanya terjadi di Padang, tapi saya yakin hal serupa juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Jadinya kita tidak akan heran lagi jika setiap menjelang bulan Ramadhan yang disambung dengan lebaran selalu ada berita pemerintah bersiap siaga menjaga stabilitas dan ketersediaan kebutuhan pokok. Inilah yang menjadi kontradiksi dalam bulan Ramadhan di Indonesia.

Hakekatnya, bulan Ramadhan adalah saat dimana umat muslim bisa menjaga hawa nafsu, termasuk nafsu untuk makan dan belanja yang berlebihan. Meskipun ada yang berdalih bahwa mereka berbelanja banyak bahan makanan untuk berbuka puasa, ini juga aneh untuk sebuah aktivitas di bulan Ramadhan. Surah Al A'raf ayat 31 mengajarkan umat muslim untuk tidak berlebihan saat makanan, terlebih lagi di bulan Ramadhan.

Penyebab dari melonjaknya konsumsi dan belanja bahan makanan selama bulan Ramadhan sebagian besar karena pola konsumtif dan gaya hidup hedonis yang masih mewarnai masyarakat kita. Saat siang mungkin banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu lainnya.

Tapi perhatikanlah setelah adzan maghrib tiba. Ini adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin plesir ke negeri jiran.

Anggaran terbesar yang keluar di bulan Ramadhan terjadi untuk ritual berbuka puasa. Seolah tidak afdhol jika tidak berbuka puasa dengan makan di luar rumah bersama teman-teman. Berbuka puasa rasanya kurang nikmat jika tidak ada menu makanan "tidak wajar" yang jarang kita konsumsi. Sekali dua kali tidak mengapa.

Tapi bagaimana jika "ritual" itu berlangsung selama satu bulan penuh? Bandingkan sendiri pengeluaran saat bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Saya yakin sebagian besar tahu kalau di bulan Ramadhan uang yang keluar justru lebih banyak. Dan sebagian besar habis untuk konsumsi makanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline