Bagi penggemar literasi sejarah, buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia adalah buku yang wajib dibaca dan dimiliki. Buku yang ditulis Michael H Hart ini sudah diterjemahkan dalam 20 bahasa dan dicetak jutaan kali. Mengutip perkataan Komarudin Hidayat, ini adalah karya abadi yang selalu relevan sepanjang zaman. Sebuah buku yang fenomenal dan paling kontroversial dalam sejarah.
Terlalu berlebihan? Saya kira tidak. Setiap orang boleh mempunyai interpretasi tersendiri siapa tokoh terhebat, terkenal, terpopuler atau parameter yang dipilih Hart adalah yang paling berpengaruh.
Dalam menyusun katalog 100 tokoh paling berpengaruh, Hart menempatkan para tokoh tersebut dalam susunan peringkat yang kontroversial, namun tetap disertai alasan yang logis dan bisa diterima para pembacanya. Berulangkali Hart menegaskan, bahwa yang dia urutkan adalah atas dasar pengaruhnya, bukan karena nama besarnya atau seberapa terkenal tokoh tersebut.
14 tahun usai buku ini dicetak pada edisi pertama, Hart memutuskan untuk mencetak buku edisi revisi. Mengapa harus ada revisi? Apakah sejarah bisa direvisi? Menurut Hart, satu alasan untuk membuat revisi adalah bahwa sejarah tidak berhenti di tahun 1978, ketika edisi pertama buku ini ditulis. Banyak sejarah baru yang tercipta, dan tokoh-tokoh baru bermunculan.
Shakespeare bukanlah Shakspere, pria dari Stratford-on-von itu
Pada buku edisi revisinya, perubahan paling mencolok dan tentu saja menimbulkan kontroversi adalah ketika Hart mencantumkan nama Edward de Vere sebagai nama sebenarnya dari penyair terkenal William Shakespeare. Dalam buku pertamanya, Hart dengan percaya diri dan tanpa keraguan menyatakan William Shakespeare si penyair adalah William Shakspere (tanpa huruf 'e' pertama), pria yang dilahirkan di Stratford --on-von pada tahun 1564 dan wafat disana pada 1616.
Menurut Hart, perubahan ini dibuat dengan sangat enggan, dan menggambarkan pengakuan bahwa dia sudah melakukan kesalahan serius karena begitu saja "mengikuti khalayak" atau pendapat umum tanpa menguji fakta dengan teliti. Hart mengakui dia sudah terpengaruh oleh sumber-sumber dari buku yang disebutnya "kaum ortodoks" dan mengabaikan argumen-argumen dari "kaum skeptis".
Dari sejak mula protes dia terima terkait sosok dibalik nama William Shakespeare, Hart dengan teliti memeriksa argumen kedua belah pihak. Hingga kemudian sampai pada kesimpulan bahwa "kaum skeptis" lebih benar dan bukti-bukti mengarah kepada Edward de Vere sebagai tokoh dibalik nama William Shakespeare.
Hoaks yang Dipelihara
Untuk menebus kesalahannya, Hart mengulas profil Edward de Vere dalam 20 halaman, paling banyak diantara profil tokoh lain dalam bukunya. Secara ringkas dan padat, Hart mengajukan beberapa argumen dan deduksi mengapa ia sampai pada sebuah kesimpulan William Shakespeare adalah nama pena dari Edward de Vere, Earl of Oxford ke-17.
Selain itu, Hart dengan beraninya menjawab sebuah pertanyaan, "Jika de Vere adalah Shakespeare, bagaimana Shakspere bisa dianggap sebagai penulis naskah-naskah Othello, Hamlet dan karya terkenal lainnya itu"?
Menurut Hart, penjelasan yang paling mungkin adalah Shakspere adalah hoaks yang diciptakan keluarga Edward de Vere ketika mereka memutuskan menerbitkan kumpulan karyanya dan memilih terus mempertahankan kerahasiaan identitasnya.