Beberapa waktu lalu, wisatawan di Gunung Bromo dibuat "jengkel" dengan keberadaan dua buah tugu nama (signage) yang dibangun di kawasan lautan pasir dan padang savannah. Kedua tugu nama tersebut dinilai merusak estetika pemandangan di puncak Gunung Bromo yang semestinya dibiarkan alami tanpa ada campur tangan pembangunan fisik, apalagi yang bersifat permanen. Kejadian yang sama kini terulang kembali di salah satu ikon pariwisata Jawa Timur lainnya, yakni di puncak Kawah Ijen.
Wisatawan yang berkunjung dan naik untuk melihat keindahan danau belerang di puncak Kawah Ijen dikejutkan dengan banyaknya tiang beton yang terpancang di puncak. Akun instagram @seasoldier_bwi yang pertama kali menyebarkan foto-foto kondisi puncak Kawah Ijen mengatakan tiang-tiang beton tersebut mulai dibangun sejak akhir september lalu. Rencananya, di puncak Kawah Ijen dan beberapa tempat di jalur pendakian akan dibangun pendopo untuk beristirahat serta toilet demi kenyamanan para pendaki.
Seperti halnya pembangunan tugu nama di puncak Gunung Bromo yang sudah jadi, rencana pembangunan fisik yang menggunakan beton dan bersifat permanen di puncak Kawah Ijen ini menuai kritik tajam gelombang protes dari para wisawatan dan juga para aktifis lingkungan hidup. Menurut beberapa wisatawan, puncak Kawah Ijen kini seakan jadi ternoda pemandangan alaminya oleh banyaknya tiang-tiang beton. Lagipula, tujuan wisawatan mendaki puncak gunung adalah ingin melihat pemandangan alaminya, apa adanya tanpa harus terganggu oleh bangunan-bangunan fisik buatan manusia.
Balai KSDA Jawa Timur, sebagai pemilik proyek tersebut beralasan, pembangunan pendopo dan toilet yang menelan dana 1,6 milyar rupiah ini adalah sebagai upaya menjadikan Kawah Ijen sebagai tempat wisata yang layak dikunjungi dan demi kenyamanan wisatawan itu sendiri.
Sebenarnya, tanpa harus ada pendopo untuk beristirahat di puncak, Kawah Ijen sudah sangat layak sebagai tempat wisata yang nyaman. Perkecualian mungkin memang harus ada beberapa bangunan toilet. Tapi, itu juga tidak harus bertempat di puncak Kawah Ijen. Bangunan toilet bisa ditempatkan di kawasan pos Paltuding, atau di beberapa titik lokasi jalur pendakian seperti di sebuah warung kopi yang terletak di tengah dan sering dijadikan tempat beristirahat dan tempat penimbangan belerang.
Alasan membangun pendopo dan toilet di puncak demi kenyamanan wisatawan adalah dalih yang absurd dan tidak masuk akal karena wisatawan tidak mungkin berlama-lama di puncak Kawah Ijen. Usai mendaki sampai puncak, biasanya wisatawan sibuk mengambil foto pemandangan danau kawah atau turun ke danau dan beristirahat sebentar untuk kemudian turun kembali ke pos Paltuding. Kalaupun memang perlu pendopo, seharusnya bisa berupa bangunan semi permanen yang tidak menggunakan beton.
Kawasan Gunung Ijen yang berada di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi merupakan Taman Wisata Alam yang berdampingan dengan Cagar Alam. Luasan Taman Wisata Alam di Kawah Ijen hanya sekitar 93 hektar, sementara sisanya merupakan Cagar Alam yang dilindungi. Kawasan Gunung Ijen juga merupakan tempat berbagai biota dilindungi hidup seperti Elang Jawa dan beberapa tanaman langka. Karena ada unsur Cagar Alam itulah, tak tepat jika Kawah Ijen dijadikan wisata massal (mass tourism) dengan masifnya pembangunan fisik yang permanen disana.
Segala aktivitas pembangunan dan kegiatan manusia di kawasan ini, jika berlebihan tentu akan mempengaruhi ekosistem dan konservasi alam. Meski pembangunan diklaim dilakukan di kawasan blok publik, namun pembangunan ini secara jangka panjang akan mempengaruhi ekosistem yang menjadi habitat biota di Kawasan Gunung Ijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H