Ibarat seorang diktator yang memimpin, semua kata-kata dan keputusan darinya adalah yang tertinggi dan wajib ditindaklanjuti. Itulah sikap dari seorang Ketua Umum KONI, Tono Suratman dalam pelaksanaan PON XVIII Riau. Betapa tidak, keputusan Dewan Hakim PON, yang katanya tidak dapat diganggu gugat pun bisa batal karena tanda tangan Tono Suratman.
Tak hanya di cabang sepakbola, dimana surat sakti dari Tono Suratman bisa membatalkan keputusan diskualifikasi tim Jabar. Di cabang panahan pun, surat sakti dari Tono Suratman juga bisa membatalkan keputusan pembayaran kompensasi atlet, terkait perpindahan status atlet Rina Dewi Puspita Sari, dari Jatim ke Jakarta. Melalui surat nomor 1315/UMM/IX/2012, Tono Suratman menunda keputusan langsung Dewan Hakim yang mewajibkan KONI DKI membayar kompensasi uang sebesar Rp. 300 juta kepada KONI Jatim. Bahkan dalam suratnya, Tono menuliskan, tentang pembayaran kompensasi akan dibicarakan kemudian. Padahal, keputusan Dewan Hakim sangat clear, pembayaran kompensasi harus dibayarkan sebelum pertandingan dilaksanakan. Lagi-lagi Tono Suratman
Dalam jurnal resmi PB PON Riau 2012 edisi Jumat (14/9)/2012, Tono menyebutkan berhak menganulir keputusan Dewan Hakim.
"Saya yang membentuk Dewan Hakim, jadi saya boleh intervensi," ujarnya seperti dikutip dalam jurnal itu.
Timbul pertanyaan, apakah karena Ketua KONI yang membentuk Dewan Hakim, berhak menganulir keputusan Dewan Hakim yang dibentuknya? Bukankah keputusan Dewan Hakim bersifat independen dan tidak dapat dianulir? Bahkan oleh pembentuknya sendiri?
Kasus ini dapat dianalogikan dengan Presiden dan Mahkamah Agung. Presiden membuat SK pengangkatan Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI. Lantas, apakah Presiden dapat membatalkan keputusan Kasasi Mahkamah Agung? Kalau SK Ketua KONI memang dapat membatalkan keputusan Dewan Hakim, apakah berarti kekuasaan Ketua KONI lebih besar daripada Presiden?
Banyaknya kesimpangsiuran penegakan aturan dan hukum di PON kali ini menjadi preseden buruk, bahwa KONI, sebagai penyelenggara PON sudah tidak mampu lagi mengorganisasikan event multiolahraga nasional. Terlalu banyak kepentingan politis yang ikut serta dalam wewenang KONI, hingga PON, yang semestinya jadi ajang pembinaan olahraga hanya menjadi ajang politik dagang sapi demi sebuah pencitraan daerah dan pemimpinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H