Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Membandingkan Kasus PSSI dan PFF

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kisruh yang melanda PSSI boleh dikata hampir sama dengan apa yang pernah terjadi di tubuh Federasi Sepakbola Philipina (PFF). Namun, ada perbedaan mendasar dari kedua kasus tersebut. Pertama adalah dasar yang dipakai untuk menggulingkan ketua umumnya, dan yang kedua adalah proses terjadinya penggantian tersebut.

Pangkal kisruh di PSSI sebenarnya adalah masalah penggantian format kompetisi, perpindahan hak siar, serta penggantian operator liga. Tiga masalah inilah yang dijadikan dasar bagi orang-orang yang tidak puas dengan kepemimpinan Djohar Arifin untuk menggulingkannya dari kursi ketua umum PSSI. Dan tiga masalah ini juga yang dijadikan alasan bahwa Djohar Arifin sudah kehilangan legitimasinya dimata anggota PSSI.

Dari tiga masalah tersebut, kemudian dikembangkan dengan gencarnya bahwa Djohar Arifin sudah melanggar statuta, sudah melanggar hasil Kongres Bali, dan sudah tidak pantas dan tidak becus memimpin PSSI. Kelompok ini juga selalu mendengungkan bahwa kedaulatan PSSI berada ditangan anggotanya. Sayangnya, mereka lupa bahwa PSSI juga merupakan property milik FIFA. Meskipun ada anggota PSSI yang menginginkan pergantian kepengurusan, jika FIFA menilai hal tersebut tidak sesua dengan standar aturan dan hukum yang berlaku, sia-sia saja.

Meski dinilai janggal dan terlalu mengada-ada, kelompok yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia tetap nekat menyelenggarakan Kongres Luar Biasa. Berbekal 'kepercayaan' yang diklaim berasal dari 2/3 anggota PSSI, mereka akhirnya memilih La Nyalla Matalitti sebagai ketua umum berdasarkan hasil dari apa yang mereka sebut Kongres Luar Biasa. La Nyalla sendiri merupakan mantan anggota Exco, yang bersama 4 anggota Exco lainnya dipecat oleh Komite Etik PSSI karena melanggar etika berorganisasi.

Hampir 3 bulan sejak penyelenggaraan KLB Ancol tanggal 18 Maret kemarin, La Nyalla Matalitti masih terus mencari legalitas dari FIFA. Namun, ada lima indikator yang mungkin dianggap FIFA bisa meruntuhkan kepercayaan La Nyalla Matalitti sebagai ketua umum PSSI yang sah.

1. FIFA sejak awal tidak mengakui adanya sebuah badan bernama KPSI. Padahal, KPSI adalah badan ad-hoc yang menyelenggarakan KLB Ancol.

2. Untuk menghentikan Kongres Tahunan PSSI dan mengharapkan FIFA mengakui KLB Ancol, KPSI dan klub anggota ISL mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS). Gugatan pertama dari La Nyalla dan tiga klub ISL yang meminta terselenggaranya KLB karena PSSI sudah melanggar statuta ditolak dengan putusan final oleh CAS. Gugatan kedua dari empat orang mantan anggota Exco, meminta putusan sela supaya KLB bisa dijalankan dan Kongres Tahunan PSSI dihentikan juga ditolak.

3. Keputusan PSSI tentang format kompetisi, sebagaimana yang dijadikan dasar masalah oleh KPSI dan dianggap melanggar statuta, merupakan keputusan yang didasarkan atas rekomendasi AFC.

4. Mekanisme KLB Ancol, jelas-jelas melanggar statuta dari PSSI dan FIFA.

Statuta PSSI Pasal 31 Kongres Luar Biasa

ayat 2 : Komite Eksekutif akan mengadakan kongres luar biasa apabila diminta secara tertulis oleh 2/3 (dua per tiga) anggota PSSI. Permintaan tersebut harus mencantumkan agenda yg akan dibicarakan. Kongres luar biasa harus diadakan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan tersebut. Apabila kongres luar biasa tidak diadakan, anggota yang memintanya dapat mengadakan kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, anggota bisa meminta bantuan FIFA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline