Lihat ke Halaman Asli

Andi Mirati Primasari

i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Menambat Asa di Gerbang Ekonomi Nasional

Diperbarui: 30 Januari 2019   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan Peti Kemas di Tanjung Priok (Sumber: SP JICT)

Kegiatan Utama Pelabuhan Peti Kemas yang dioperasikan PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) dimulai dari bongkar muat container, transfer peti kemas, penumpukan container di yard, sampai pada aktivitas ekspor/impor di gate. Ayunan crane-crane raksasa yang memindahkan peti kemas dari tempat satu ke tempat yang lain adalah pemandangan sehari-hari di sana.

Selayaknya, skema pekerjaan terstruktur dengan baik sesuai standar, tak terkecuali kelayakan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM). Terbersit kagum melihat para pekerja bisa bekerja-sama menyelesaikan pekerjaan besar seperti ini dengan semangat yang luar biasa.

Di balik hiruk-pikuknya bongkar-muat barang di Pelabuhan Peti Kemas, terselip cerita para pekerja yang membanting tulang demi keberlangsungan hidup keluarganya di sini. Mereka tergabung dalam Serikat Pekerja JICT (SP JICT).

Kegiatan di Pelabuhan Peti Kemas JICT (sumber: SP JICT)

Beberapa di antaranya sedang berharap kepastian nasib, agar secepatnya bisa diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, keadaan terkadang memang tak semanis yang diharapkan. Apalagi, ketika Pelindo II kembali menandatangani perjanjian kontrak JICT dan TPK Koja dengan pihak Hutchison Ports Holding Hongkong (HPH). Impian akan kedaulatan pelabuhan Indonesia seakan terbang, padahal di balik kerja keras mereka, ada niat mulia untuk bisa berdikari di negeri sendiri.

Sebuah Kisah di Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok

Tak dapat dipungkiri, bahwa Tanjung Priok merupakan pelabuhan tersibuk nomor satu di Indonesia. Posisinya yang sangat strategis merupakan simbol kedaulatan dan bangsa, tak hanya sebagai gerbang ekonomi, namun sebagai simbol kehormatan politik bangsa ini. Itulah sebabnya setelah proklamasi Indonesia, pemerintah sesegera mungkin mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini.

Pada tahun 1999, dimana ketika itu Indonesia tengah dirundung krisis moneter, pemerintah terpaksa melakukan privatisasi terhadap PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong dengan masa kontrak 20 tahun hingga 2019. Ini berarti tahun ini masa kontrak tersebut harusnya sudah berakhir, sehingga JICT pun bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bisa diolah secara mandiri oleh anak bangsa sendiri.

Salah satu aksi protes SP JICT terhadap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH (sumber: Kiki Handriyani)

Hanya saja, perpanjangan kontrak kembali dilakukan pada tahun 2014 oleh Direktur Utama Pelindo II saat itu, padahal kontrak sebelumnya saja belum berakhir. Peristiwa mengagetkan ini seketika membuat impian para anak bangsa di JICT untuk mengelola pelabuhan ini secara keseluruhan terpaksa pupus.

SP JICT sebagai pihak yang paling keras menolak perpanjangan kontrak JICT dengan HPH telah melakukan berbagai upaya pendekatan secara persuasif ke parlemen, bahkan sampai menggelar aksi turun ke jalan untuk menyuarakan jeritan di hati para pekerja. Para pekerja amat berharap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH bisa dibatalkan.

Perjuangan yang didasari niat mulia untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia secara maritim ini ternyata tak mudah. Selalu ada saja pihak-pihak yang memandang sinis bahkan menuduh perjuangan SP JICT dilatarbelakangi niat negatif, bahkan mereka sempat dituduh sebagai musuh negara oleh oknum yang tak senang dengan aksi mereka.

Dari sini, timbul kecurigaan bahwa ada indikasi pengerahan kekuatan untuk menyerang siapa saja yang dianggap mengganggu kepentingan asing dalam kasus JICT dan TPK Koja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline