Teman-teman.. ada yang pernah jalan-jalan ke pelabuhan Tanjung Priok? Apa yang anda saksikan di sana?
Tentunya ada rasa takjub menyaksikan proses besar yang terjadi di sana, berhubung di situlah hiruk-pikuk transportasi via laut dan awal proses ekspor dan impor berlangsung. Anak bangsa yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT. Jakarta International Container Terminal (SP-JICT), salah satu anak perusahaan Pelindo II yang tertua bahkan menyebut pelabuhan sebagai "Pintu Gerbang Perekonomian Nasional".
Sayangnya, sejak 1999, karena masalah krisis ekonomi, mayoritas saham PT. JICT (51%) masih dipegang oleh pihak asing, yaitu Hutchison Port Holdings (HPH) milik Hongkong yang dulunya bernama Grossbeak, Pte Ltd. Sisanya 48% dipegang Pelindo II dan 0,1% milik Koperasi Pegawai Maritim.
Kontrak JICT dengan pihak HPH diperpanjang lagi untuk masa kontrak 2019-2039. Dari sinilah, kisah tragis yang menimpa pekerja JICT bermula. Serangan demi serangan terus menimpa para pekerjanya, sebut saja PHK sepihak, mutasi tanpa dasar, kriminalisasi atas pencemaran nama baik, dan pemotongan gaji pekerja Billing karena kebijakan yang sudah disetujui Direksi. Padahal kabarnya, para ahli billing di JICT sudah bekerja demi menghasilkan efisiensi milyaran rupiah lewat inovasi e-billing.
Pekerja adalah aset yang sangat penting bagi perusahaan, demikian pula halnya dengan JICT. Mereka yang berjuang menciptakan inovasi, kreativitas, dan tata kelola perusahaan agar berjalan baik dan bersih. Pekerjalah yang menggerakkan perusahaan sehingga pundi-pundi rupiah bisa mengalir lancar ke kas.
Secara fungsi, JICT berperan vital dalam menangani 40-60% arus ekspor-impor ibukota dan nasional. Atas alasan inilah, SP-JICT berusaha sekuat tenaga dan pemikiran agar JICT bisa dikelola secara mandiri oleh Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, utamanya dari sisi maritim. Secara SDM, peralatan dan teknologinya sudah sangat mumpuni.
Menurut pakar komunikasi Dr. Ade Armando, MSc. SP JICT adalah mereka yang sadar bahwa sikap diam dan pasrah kepada keadaan saat kezaliman berlangsung adalah sikap salah. Di luar sorotan publik, para pekerja telah berusaha menyelamatkan perusahaan sebagai aset negara yang sangat bernilai.
"SDM Indonesia sudah belajar cara mengelola pelabuhan peti kemas secara mandiri dan berteknologi, tanpa memerlukan keterlibatan pihak asing. Kalaupun modal asing masih diperlukan, seharusnya tetap dalam skema yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia, dan tetap tunduk pada aturan hukum bangsa ini." kata Ade Armando.
Di balik semua masalah yang menerpa JICT, para pekerja berhasil torehkan prestasi. Pada Juni 2016, JICT meraih predikat terminal terbaik di Asia, kategori kapasitas di bawah 4 juta twenty foot equivalent units (TEUs) di ajang Asian Freight Logistic and Supply Chain (AFLAS) 2016. Prestasi ini mendorong pelabuhan luar untuk belajar banyak dari SP-JICT, termasuk ketika mereka diundang untuk melakukan presentasi kinerja di forum internasional.
Namun sangat disayangkan kemudian, prestasi membanggakan tersebut tidak bisa menggerakkan hati para petinggi di Pelindo II untuk memberi kepercayaan kepada mereka. Bahkan, secara tiba-tiba pada 5 Agustus 2014, Dirut Pelindo II saat itu secara tiba-tiba melakukan perpanjangan kontrak JICT dengan Hutchison hingga 2039. Sebuah keputusan yang mengundang tanda tanya besar.
Dalam buku Konspirasi Melawan Konspirasi Global Teluk Jakarta, dijelaskan bagaimana SP-JICT mencoba mencari keadilan di tengah berbagai fitnah keji, intimidasi, tekanan, dan ancaman yang mendera.