Lihat ke Halaman Asli

Andi Mirati Primasari

i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Diet Mental, Yuk..

Diperbarui: 27 September 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sibuk beraktivitas di era superhectic seperti sekarang ini, tak jarang sebagian dari kita merasa penat akibat banyaknya tumpukan hal yang harus diselesaikan. Skala prioritas pun seringkali terlupakan. Bagaimana mungkin membuat skala prioritas di saat banyak tugas dadakan yang muncul di sela-sela tugas sebelumnya yang belum kunjung kelar? Pusing pun tak dapat dihindari. Rasanya ingin lari saja dari semua hiruk-pikuk ini.

Ada satu kisah tentang seorang wanita karier yang tengah mengalami penurunan kinerja di kantor. Ia baru saja keluar dari ruangan bosnya dengan wajah lesu. Si bos baru saja menegurnya karena absensinya yang bolong-bolong. Kualitas hasil kerjanya pun disebut-sebut tidak lagi memuaskan. Banyak klien yang merasa kurang puas dengan performanya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak. Si bos sekaligus memberi peringatan: Jika ia melakukan kesalahan ataupun tindakan-tindakan indisipliner lagi, ia akan dimutasi ke divisi lain dengan resiko turun ke jabatan yang lebih rendah. Alasannya: ia dianggap tidak lagi kompeten untuk menjabat posisi yang sekarang.

Sekembalinya dari ruangan si bos, ia lalu merenung di meja kerjanya, terpuruk. Ia merasa selama ini sudah melakukan yang terbaik demi perusahaan, tapi kenapa masih disalahkan? Ada sedikit ketidakterimaan dalam hatinya, namun apa mau dikata, ia pun tidak bisa membantah bila akhir-akhir ini ia memang banyak melakukan kesalahan di kantor. Memang benar bahwa belakangan ini ia sering terlambat masuk kantor. Selain tak mampu menghindari macet, ia pun kadang terpaksa mesti berangkat agak siang karena harus mengantarkan anak bungsunya dulu ke Taman Kanak-Kanak jika suaminya sedang tugas ke luar kota atau tak sempat mengantar.

Tak bisa dipungkiri juga bahwa akhir-akhir ini ia sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kantor. Data-data yang diprosesnya banyak yang hasilnya tidak akurat. Ia heran, lantaran sebelumnya ia selalu menunjukkan prestasi mengagumkan di kantor.

Kegagalan demi kegagalan serasa menghantuinya. Ini karena ia sering tidur larut malam karena harus mengerjakan tugas rumah tangga juga, memastikan rumah dan perabotannya beres dulu, meninabobokan anak-anak, baru ia bisa tidur.

Efek paling buruk yang ditimbulkan setelah insiden "Panggilan Si Bos" tempo hari adalah lingkungan kantor yang jadi mengucilkannya. Kesalahan yang telah dilakukannya tempo hari telah mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan tersebut.

Berada dalam kondisi terpuruk seperti ini memang serba salah. Mau resign dari kantor tapi ia tak bisa lantas meninggalkan tanggung jawab pekerjaan begitu saja, dan tak bisa dipungkiri juga bahwa ia memang masih sangat membutuhkan pekerjaan tersebut sebagai salah satu cara memperoleh penghasilan untuk membantu sang suami menghidupi keluarganya. Banyak tagihan dan iuran bulanan yang mendesak untuk segera dilunasi. "Aaaaaaarrrrrgghh.. Aku harus bagaimana?" teriaknya dalam hati. Batinnya benar-benar tertekan. Frustasi.


***

Sungguh disayangkan apabila kita berada pada kondisi seperti yang dicontohkan di atas. Seolah-olah mengalami kebuntuan, tak ada sama sekali jalan keluar untuk semua masalah. Ini salah, itu juga salah.

***

Masalah terbesar sebenarnya ada pada mental wanita tersebut yang saking sibuknya, ia jadi tak mampu lagi untuk mengendalikan ritme hidupnya sendiri. Betapa ribetnya. Ia seolah-olah diserang dari segala arah dengan setumpuk tuntutan tugas dan tanggung jawab yang begitu agresif menyerang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline