Lihat ke Halaman Asli

PrimaNaSa

Penulis

Bilang, Seharusnya Bilang Bukan Hilang

Diperbarui: 8 November 2023   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pin.it/7dptQWP




MEMBACA INI AKAN MEMBAWA KALIAN KE DUA MASA. MASA LALU DAN MASA KINI. 

“Kabarmu baik, Pir?” Arjun bertanya padaku. “Orang tuamu sehat, ‘kan?”

Tas sengaja kutaruh dipangkuanku, untuk kupeluk. Tempat duduk kami berhadapan, hanya berjarak empat jengkal, sehingga aku bisa langsung menatap matanya yang sayu. Namun, hingga kini aku hanya menatap rambutnya yang menjuntai hingga alis dan tertutup topi. Saat kubuka bibirku, lantas aku bingung ingin menjawab apa, aku masih merangkai banyak kata untuk kujadikan kalimat yang bisa membenarkan semua tindakanku.

“Kamu kerja?” Arjun kembali melontarkan pertanyaan padaku.

Pelukanku pada tas semakin mengerat. Memberikanku kekuatan dan dukungan untuk segera berbicara dan menyelesaikan masalah yang sengaja kubuat.

“Aku kebingungan nggak ada kamu, kerasa banget susahnya,” ucap Arjun, menggetarkan hatiku. Kini aku menatap wajahnya, lantas Arjun menjadikan lengan sebagai tumpuan dagunya.

“Arjun, maaf.” Hanya dua kata yang keluar dari bibirku, setelah ribuan kata kurangkai dalam kepalaku. Kalimat selanjutnya, tersangkut di kerongkonganku, tak berhasil keluar. Rasa bersalah entah mengapa semakin membuat hatiku pedih. Mungkin karena, penyesalan?

“Enam puluh hari kamu hilang, nggak ada kabar,” paparnya masih menatap wajahku yang saat ini sudah menunduk. Entah kenapa, pelupuk mataku berair. “Pesan yang nanyain keadaan kamu, nggak kamu balas, bahkan liat.”

Aku bergerak ‘tak nyaman dalam dudukku, kakiku entah kenapa bergetar, hingga aku terus mengeratkan pelukan pada tasku. Satu-satunya barang yang bisa menjadi tumpuanku agar tetap tegar.

“A-aku, baik. Aku baik-baik aja,” balasku menatapnya. “Arjun. Maaf.”

“Seenggaknya kamu kabarin aku, aku dan teman-teman lain bahkan nggak bisa nyusulin kamu ke rumahmu. Untuk tau keadaan kamu.”

“Tapi apa semuanya berjalan lancar?” lirihku bertanya ragu.

“Kamu pasti bisa tebak. Kita perlu kamu, Pir!” Jelasnya tegas, hingga hatiku terenyuh. “Jangan pernah bilang, kamu baik-baik aja Pira.”

Perlahan cairan bening yang menggenang, luruh. Mengalir, berjatuhan membasahi tas yang berada dalam pelukanku. Tanganku mengepal, berusaha menahan suara isakan yang akan merintih keluar.

“Beban dipundakku lebih berat, Pir. Waktu kamu nggak ada.”

“Arjun.”

“Arjun, aku egois banget, ya.”

“Kamu berhak, Pir.”

Aku menghapus sembab di wajahku. Mengukuhkan hatiku. Karena jika aku terus bungkam. Aku tidak tahu, apa masalahnya akan tuntas. “Waktu aku di sini. Aku merasa nggak berharga. Kamu tahu, Jun?”

Pagi itu aku berlari, menuju aula. Aku bernapas lega saat sudah melihat pintu aula dengan membawa satu rim kertas A4 untuk kucetak. Kudengar suara gelak tawa, renyah terdengar masuk telingaku. Sehingga membuat kedua sudut bibirku tertarik.

“Seru banget, sih!” selaku. Kulihat keempatnya beralih menatapku yang datang berjalan kearah mereka.

“Ah telat kamu, Pir. Kita abis bahas gebetan si Citra, nih!” sahut temanku, Roji.

“Wah, Citra!” Aku menatap adik tingkatku yang tengah melempari kulit kacang ke arah Roji.

“Sialan, bang Roji!” amuknya. “Nggak kok, Kak!” tambahnya berkilah. Gelagapan . Kulihat wajahnya merah.

“Eh, maaf ya, Pir kita nggak bantuin kamu,” ucap Galuh, sembari mengupas kacang kulit yang berserakan dipangkuannya.

“Si Pira mah, gantelwomen,” sahut Roji. “Ya, kan, Pir!”

“Parah, si bang, kak Pira tuh cewek. Bantuinlah kali-kali kalo kak Pira bawa barang berat,” kata Yuna.

“Tau bang, aku liat kamu nggak ada kerja, makan mulu!” sahut Citra sewot.

“He, Citra, Yuna! Makan kacang juga kesibukan kali. Kerja, nih! Ngupasin kacang buat kalian semua!”

Gelak tawa makin kudengar. Kadang aku merasa terhibur.

“Tapi selama ini kamu diam aja, Pir?” Arjun menatapku getir.  Lantas aku harus berbicara dulu, baru mereka sadar?

“Hah … harusnya aku bilang, ya?” Aku tersenyum, menelan semua kalimat yang ‘tak jadi kulontarkan. Aku menatapnya, kegetiran yang sama menghampiri diriku.

“Aku merasa nggak becus, ngurus kalian, Pir.”

Pelukanku melonggar pada tasku. Kini aku mulai merasa tenang. Setelah berbicara.

“Ouh, jadi kamu juga sama kaya aku, Yun, haha.” Di ruang BEM Fakultas aku dan Yuna sedang mencetak 300 lembar sertifikat untuk diberikan pada peserta seminar.

“Iya, Kak. Padahal aku pengen masuk Jurusan Tari, tapi takdirku malah masuk kampus ini,” terangnya sedih.

“Masuk jurusan, Komunikasi lagi ya,” balasku sembari tertawa. Tak kusangka nasibnya sama sepertiku, yang terpaksa masuk jurusan ini.

“Tapi, ya udah. Jalanin aja deh, sampe lulus.”

“Betul, Yun. Nggak kerasa pasti. Aku aja udah mau semester 5, nih.”

“Ouh, iya Kak. Citra cinlok tuh sama bang Galuh,” terangnya.

Aku berhenti, merapikan kertas yang masuk ke printe. Terdiam, badanku kaku. “Hah, serius?!”

“Aku juga kaget.”

“Ah, berarti yang waktu itu meraka udah jadian?” tanyaku penasaran.

“Iya, parah banget, ‘kan mereka. Nipu kita semua!” jawabnya menambah keterkejutanku. Otakku masih mencerna segalanya, selama ini aku ngapain aja? Nggak tau apa-apa. Mungkin kalo Yuna, nggak ngomong ini aku nggak bakal tau.

“Udah lama, kak. Sebelum jadi Maba.” Sebelum jadi mahasiswa? Yang benar saja! Dasar Galuh. “Citra juga masuk ke sini kan, karna orang dalem.”

“Galuh? Citra masuk ke divisi kita?”

Yuna mengangguk. Pantas saja. Entah kenapa aku selalu merasa segan dengannya, berkali-kali lipat. Rasanya ada perlakuan beda, terhadapnya. Beda denganku. Hah! Sesak.

“Kamu nggak perlu merasa bersalah, Arjun. Ini masalahku. Aku aja yang memang egois.”

“Jadi kamu suka, Galuh, Pir?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline