Lihat ke Halaman Asli

Prima Marsudi

Indahnya menua.

Diary 5

Diperbarui: 8 Agustus 2020   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terjaga dalam nyata.  Sabtu pagi, mendung kali ini tak menjanjikan hujan.  Kabut yang melintas membuka hari ini.

Kakiku berderap pelan di atas aspal.  Mencoba memecah hari bersama suara-suara pagi yang bersahutan.  

Terdengar suara azan di kejauhan.  Suara-suara malam mulai menjau.  Burung prenjak sembunyikan dirinya di balik rerimbunan.  Kicaunya tak lagi menakutkan aku.

"Itu suara kematian, sebentar lagi akan ada yang dipundut" gumam ayahku pagi itu.  

Aku tak pernah menanggapinya.

Namun malam itu, aku menemukan ayahku terkapar di lantai.  Ia tak sadarkan diri, dan tak pernah sadarkan diri lagi hingga beberapa.hari kemudian beliau pergi untuk selamanya.

Prenjak seperti menghilang bersama kepergian ayahku untuk selamanya.

Beberapa tahun kemudian aku kembali mendengar suara-suara itu lagi. 

Aku mulai ketakutan.  Kupandangi wajah tua ibuku.  Aku tak mau kejadian dulu terulang lagi.  Ya Tuhan, jangan lagi.

Melalui hari itu dengan cemas. Kujaga ibuku, anak-anakku.   Aku menjadi parno.

Burung itu masih berkicau. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline