Dua puluh lima tahun untuk sebuah karir bukanlah perjalanan hidup yang pendek. Jika hingga saat ini karir saya masih sama seperti ini, itu karena saya harus bertahan.
Memang tidak ada yang mengharuskan saya untuk bertahan, namun sudah menjadi habit yang mengalir di dalam tubuh saya untuk selalu bisa bertahan.
Musuh utama saya di karir yang panjang ini adalah perasaan saya sendiri, yaitu rasa benci. Menghapus kebencian dari diri saya sendiri selalu menguras tenaga. Dan perasaan benci itu timbul tenggelam di sepanjang karir saya.
Di awal karir, saya muda adalah saya yang idealis. Keidealisan saya kerap bertentangan dengan senior-senior saya pada masa itu. Dengan demikian sulit bagi saya untuk mengekspresikan ide-ide yang mengalir deras di tubuh saya.
Setiap kali sebuah ide ditentang bahkan diinjak-injak oleh orang lain, maka yang akan muncul pertama kali adalah perasaan benci. Meski tak pernah menunjukkan perasaan itu ke muka publik, tetap saja saya kerepotan menghadapi perasaan benci ini.
Dan terus seperti itu prosesnya. Hingga dengan kebaikan Tuhan saya mencapai puncak karir di tahun kelima saya bekerja.
Membawahi empat puluhan orang dengan karakter yang berbeda memang perlu perjuangan. Namun bukan pula pekerjaan yang sulit selama orang orang ini berada di atas rel yang sama.
Menjadi sulit ketika harus berhadapan dengan oknum provokator, penentang, ataupun orang-orang yang berseberangan dengan kita. Apalagi jenis orang orang yang menjadi musuh dalam selimut.
Dan orang orang seperti ini selalu ada, seperti udara, bukan hanya oksigen yang terhirup tetapi juga jenis udara lainnya...
Kemudian ketika kelicikan mereka tak lagi terbendung, maka perasaan benci kepada orang-orang ini akan kembali mencuat. Bergejolak di hati saya.
Namun menghadapi mereka dengan kebencian itu hanya akan merusakkan syaraf syaraf di tubuh saya. Oleh karena itu, harus ada cara lain untuk menangani mereka.