Lihat ke Halaman Asli

Ketika R Selalu Membuntuti UU Keperawatan

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dengar tentang Misran kan? Ya, dia adalah seorang perawat di pedalaman Kalimantan Timur yang dipidana karena memberikan resep obat pada masyarakat disana. Salahkah? Ya sejauh ini memang salah, karena tidak ada payung hukum yang jelas mana yang harus dilakukan perawat mana yang tidak boleh dilakukan perawat. Tapi dalam kondisi gawat darurat yang nota bene di pedalaman sana jumlah Dokter begitu minim, apakah tindakan tersebut juga di cap sebagai sesuatu yang "salah?" Lalu harus bagaimana kita bertindak?

RUU Keperawatan atau sering diakronimkan dengan RUU Keperawatan sepertinya menjadi salah satu solusi sebagai pedoman bagaimana kita bertindak. Tapi sepertinya huruf R itu senantiasa menemani UU Keperawatan entah sudah berapa lama. Dan entah sampai kapan huruf R itu akan senantiasa menemani UU Keperawatan. Besar harapan tahun ini setelah para "wakil rakyat" reses sejenak, RUU Keperawatan kembali menjadi salah satu topik yang mereka bahas setelah reses. Itu besar harapan kami :)

Beberapa tahun lalu, beberapa mahasiswa keperawatan dan perawat Indonesia turun ke jalan mengusung spandhuk tinggi- tinggi bertuliskan SAHKAN RUU KEPERAWATAN, mungkin kau pikir berlebihkan kah?  Tapi UU Keperawatan adalah hak kami, yang harus kami perjuangkan demi masa depan profesi ini,sehingga tidak ada lagi kasus PERAWAT DIPENJARA KARENA MEMBERIKAN RESEP OBAT, PERAWAT DITUDUH MELAKUKAN MALPRAKTIK KARENA DITUDUH SALAH MELAKUKAN TINDAKAN, YANG TIDAK SEMUA ORANG TAHU SEBENARNYA TINDKAN ITU MERUPAKAN TINDAKAN KOLABORASI DENGAN PROFESI KESEHATAN LAIN. Semua itu harus ada hitam di atas putih, harus ada bukti yang jelas kenapa kalian menuntut kami, harus ada regulasi yang jelas kenapa kami dibilang salah ketika melakukan tindakan yang wajib kami lakukan.

Kita tahu bahwa kebutuhan akan perawat semakin banyak, baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri. Setiap tahunya 70% perawat asal Jawa Timur diekspor ke Dubai karena mereka menilai perawat Indonesia adalah perawat yang berkualitas (www.beritajatim.com). Namun ketika mendengar 60 perawat Jatim dipulangkan dari Singapura karena ketidakjelasan standar kompetensi, padahal mereka telah dinyatakan lulus uji tes. Apakah sertifikat kompetensi itu tidak diakui? Entahlah. Dan akibatnya lowongan tersebut malah diisi oleh perawat asal Filipina. (www.beritajatim.com). Apakah itu bukan merupakan suatu tamparan bagi kita? :) entahlah :)

Selama ini belum pernah kan mendengar perawat melakukan aksi mogok kerja kan? Itu karena kami sabar dan kami sadar bahwa melayani pasien adalah tanggung jawab kami. Presentase perawat menyentuh, bertatap secara langsung dengan pasien adalah 85%,  bayangkan jika kami melakukan mogok kerja, apa yang akan terjadi? Tapi kami sabar dan kami sadar.

Semua tuntutan untuk mengesahkan RUU Keperawatan ini juga tidak lepas dari kewajiban perawat untuk meningkatkan pelayanan kinerja kami para perawat. Disamping menuntut pihak "atas", kita juga harus menuntut pihak "bawah", artinya perawat harus memperbaiki diri dan harus memberikan pelayanan optimal kepada klienya. Jadi ketika ada tuntutan, peningkatan pelayanan juga harus dioptimalkan sehingga keduanya saling berjalan seiringan bukan diiringi. Karena kami ingin seiring bukan digiring (Filosofi Kopi,Dee).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline