Lihat ke Halaman Asli

Priesda Dhita Melinda

Ibu dari 2 orang anak perempuan dan juga seorang guru yang ingin terus belajar

Dia Itu Suamiku

Diperbarui: 22 Februari 2018   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: solo.tribunnews.com

Malam itu rasanya malam terpanjang yang aku lalui. Perutku sudah mulas, air ketuban pun sudah pecah, namun pembukaan masih belum lengkap. Aku menunggu sambil menahan sakit, suamiku memegang erat tanganku dan sesekali mencium keningku untuk mendukungku untuk terus berjuang.

"Sakiiiit, sakiiit sekali. Aku nggak kuat" kataku sambil berteriak.

"Sabar ya sayang, kamu pasti bisa" kata suamiku sambil mengelus kepalaku. Dalam hati aku menyemangati diri ini, namun ragaku sepertinya lemah tak berdaya. Aku pandang wajah suamiku. Ya..aku akan terus berjuang.

Akhirnya pembukaan lengkap, dengan sigap bidan itu membantuku untuk melahirkan. Aku keluarkan semua tenagaku. Aku merasa kalaupun malam itu aku harus kembali ke surga, aku sudah siap karena ragaku sudah lemah. Beberapa menit kemudian, aku mendengar suara bayi. Aku lelah dan menutup mata, namun seseorang memukul-mukul pipiku supaya tetap sadar. Ku coba terus untuk membuka mata, walaupun berat. Aku coba untuk bertahan.

Sinar matahari masuk melalui sela-sela ventilasi jendela, perlahan kubuka mataku. Aku masih hidup. Aku tatap wajah mungil dan tenang ini lekat-lekat, rasanya aku tak ingin mengedipkan mata untuk terus memandangnya. Aaaahhh... bayiku, akhirnya kita bertemu setelah sembilan bulan kamu di perutku. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bagaimana gerakanmu di dalam rahimku dan bagaimana rasanya perjuangan semalam. Sakit dan lelah. Tetapi semua terbayar dengan kehadiranmu.

"Kreeek" terdengar pintu dibuka yang membangunkan aku dari lamunan. Kulihat suamiku datang sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Aku pun makan.

"Kenapa kok begitu lihat aku?" tanyaku curiga pada suami yang memperhatikanku begitu lekat.

"Kamu cantik" katanya sambil tersenyum. Akupun jadi salah tingkah. "Terima kasih ya sudah berjuang untuk aku dan anak kita" katanya lagi sambil mengecup keningku. Aku terharu dan tersenyum.

"Aku juga terima kasih ya,sudah mendampingiku saat berjuang. Kita besarkan dan didik anak ini bersama-sama" kataku.

"Iya, pasti itu" jawabnya sambil tersenyum dan memelukku erat.

"Jedug !!" kepalaku terantuk tembok kamar. Astagaah ternyata ini hanya mimpi, tetapi perutku yang buncit ini bukan mimpi. Aku mengelus perutku, dari dalam aku rasakan ada gerakan kecil seolah ia mengatakan bahwa ia juga sayang padaku sebagai ibunya. Kulihat jam dinding di kamar, ternyata sudah pukul 01.00, tapi suamiku belum pulang juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline