Lihat ke Halaman Asli

Apakah kita memerlukan Mobil Nasional? Jawabnya : Tidak

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Apakah kita memerlukan Mobil Nasional? Jawabnya : Tidak

Akhir akhir ini diskursus mengenai mobil nasional kembali muncul dipicu oleh kunjungan Presiden jokowi ke Malaysia. Secara umum istilah mobil nasional atau mobnas mengacu kepada satu merek mobil tertentu yang menjadi flag carrier negara. Artinya negara berada di belakangnya, mendukung dalam bentuk kontribusi finansial, peraturan pajak dan cukai serta berbagai kemudahan lainnya.

Selepas kunjungan, perhatian publik tertuju kepada ‘mengapa Proton yang dipilih sebagai partner pengembangan mobnas?’. Padahal sebelum jauh-jauh berbicara mengenai pemilihan partner potensial, kita pertama kali harus bertanya ‘apakah kita sungguh memerlukan sebuah mobil nasional?’

Industri otomotif (baca : pabrikan mobil) telah mengalami evolusi terutama pada dekade 1970-1990. Saat itu Jepang menginvasi Amerika melalui merek seperti Toyota, Honda dan Nissan. Eropa praktis masih menjadi pasar yang tertutup, walaupun GM, Ford dan Chrysler berusaha dengan berbagai cara untuk menembusnya. Namun globalisasi mengubah industri ini secara dramatis. Boleh dibilang, jika kita ingin melihat persaingan manufaktur global maka lihatlah industri otomotif.

Saat ini industri otomotif harus bersaing pada skala global, dengan skala ekonomis yang besar supaya bisa bertahan hidup. Besarnya biaya untuk riset dan pengembangan, pembangunan merek, integrasi supply chain dan distribusi sulit untuk bisa ditanggung jika pabrikan berukuran segitu-gitunya saja. Berbagai aliansi global antar pabrikan otomotif adalah cermin nyata dari perlunya konsolidasi -- terutama bagi pemain kelas menengah-- guna mencapai skala ekonomis. Sebut saja beberapa contoh : Ford-Mazda, Peugeot- Citroen, Hyundai-Kia, Nissan-Renault, Winling-GM di Cina dan terakhir Fiat-Chrysler.

Cara pandang yang salah bisa kita lihat pada merk Proton. Malaysia dan Mahathir Muhammad menganggap otomotif sebagai jembatan antara menuju pembangunan negara industri. Dimana seluruh negara industri seperti Jepang, Korea dan lainnya mengikuti pattern yang sama. Namun hasilnya adalah sakit kepala berkepanjangan bagi pemegang saham dan pemerintah Malaysia. Proton selalu merugi, dan tidak mampu bersaing jangankan di level global bahkan di level regional. Proton lebih merupakan sebuah gengsi daripada prestasi, dan sumber debat berkepanjangan didalam pemerintahan.

Apakah kita rela APBN dipergunakan hanya untuk gengsi-gengsian?? Saya menyebutnya gengsi, untuk membedakannya dengan kehormatan. Saya termasuk orang yang menganggap gengsi itu sebuah kekonyolan, namun memandang penting yang namanya kehormatan.

Intinya, pabrikan otomotif harus memandang, berpikir dan memperlakukan dunia sebagai satu pasar. Hanya melihat kemacetan di Jakarta dan berbagai kota lainnya sebagai sebuah peluang industri adalah cara pandang yang terlalu sederhana. Kita sepanjang 2014 memproduksi 1,25 juta mobil. Tampak jumlah yang besar? Bandingkan dengan Cina yang berhasil membuat 23 juta mobil pada periode yang sama. Kita sudah terlambat untuk membangun industri otomotif. Dan waktu adalah elemen kompetisi yang langka (scarce).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline