Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Kapolri, dan 800 Tahun Magna Carta

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

800 tahun yang lalu, tepatnya 15 Juni 1215 di tepi sungai Thames, Inggris. Sebuah dokumen diterima dan ditanda-tangani oleh Raja Inggris waktu itu, King John, dengan sebuah prinsip mendasar bahwa tidak ada seorang pun boleh berada di atas hukum, bahkan seorang raja sekalipun. Dokumen ini menginspirasi US Constitution 1787 dan Universal Declaration of Human Rights 1948. Intinya adalah mengenai pembatasan kekuasaan, dimana tidak boleh ada suatu pihak yang memiliki kekuasaan tidak terbatas, atau dibenarkan untuk memiliki kekuasaan terkecuali karena aturan hukum.

Melihat kondisi Indonesa saat ini, saya merasa dalam kerangka budaya, Indonesia semakin membaik. Seputar pergantian Kapolri dan status tersangka oleh KPK menurut saya akan menjadi angin segar bagi perubahan budaya di kepolisian republik Indonesia yang kita cintai ini. Bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa petugas kepolisian memiliki 'power' yang sangat besar di negeri ini. Jangankan polisi sebagai oknum, memiliki kenalan seorang anggota polisi saja sudah membuat kita merasa mudah berurusan dengan hukum di negeri ini.

Dengan adanya KPK dan PPATK, maka akan sangat mudah sekali untuk membatasi 'power' dari para aparatur negara dan penegak hukum di negeri ini. Rekam jejak transaksi keuangan tidak mungkin bisa dibohongi. Sedikit saja ada transaksi tidak wajar, maka KPK berhak melanjutkan proses pemeriksaan dan penegakan hukum. Artinya ada suatu kekuatan besar yang bisa membatasi 'power' dari seluruh manusia dan institusi di negeri ini.

Sama seperti yang terjadi saat Magna Carta ditandatangani. Seorang raja menerima dan menyerahkan kekuasaan yang dimilikinya pada undang-undang. Suatu hal yang oleh kacamata umum tidak mengenakkan, apalagi dari pihak keluarga kerajaan pada waktu itu. Kondisi ini sama dengan yang dialami oleh Polri dimana kader terbaiknya, harus tunduk pada peraturan dan undang-undang.

Bagaimana bila calon kapolri tersebut merupakan kandidat yang paling baik? di dukung internal polri, mampu memimpin, 99% karir professionalnya bersih. Sementara kandidat lain adalah calon kapolri yang tidak memmiliki kapasitas memimpin, tidak didukung internal, namun 100% bersih. Maka demi hukum, yang 100% bersihlah yang harus dipilih. Sama seperti alasan Magna Carta, US Constitution dan Human Rights ditandatangani. Demi hukum dan demi umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline