Lihat ke Halaman Asli

bangjul

belajar, mendidik, dan melayani

Sri Bintang Pamungkas: Lain di Bibir, Lain di Aksi

Diperbarui: 7 Agustus 2018   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kaget juga saat Razman Nasution, pengacara Sri Bintang Pamungkas (SBP) kemarin mengungkap jika kliennya pada tanggal 7 Desember 2016 sedianya harus memenuhi panggilan sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK). Panggilan terkait gugatan  uji materiil (judicial review) yang diajukan SBP terhadap UU Perbendaraan Negara (UUPN) Nomor 1 Tahun 2014 yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.  Kaget, tentu saja  karena dalam beberapa bulan terakhir SBP begitu lantang meneriakkan tiga tuntutan,  seperti diungkapkan Rachmawati, salah satu tokoh yang bersama-sama dilakukan penagkapan dan berakhir dengan sangkaan makar. Tiga tuntutan itu adalah: 1. Kembali ke UUD 1945, 2. Lengserkan Jokowi-JK, dan 3. Bentuk pemerintahan transisi.

Dari tiga tuntutan SBP, pernyataan kembali ke UUD 1945 diposisikan dalam tuntutan pertama. Deklarasi sikap yang memberikan interpretasi logis penolakan SBP terhadap empat kali amandemen  UUD 1945. Tak urung, aksi gugatan uji materiil SBP ke MK yang diregister dalam perkara Nomor: 107/PUU-XIV/2016 menimbulkan tanya besar.  Apakah SBP menguji UU PN terhadap norma konstitusi sebelum amandemen, atau norma konstitusi pasca amandemen? 

Bukan hal ganjil sikap penolakan SBP terhadap amandemen UUD 1945 jika uji materiil UU PN  dilakukan terhadap norma konstitusi sebelum amandemen yang memang masih dipertahankan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen. Tetapi menjadi inkonsisten jika gugatan uji materiil UU PN dilakukan terhadap norma konstitusi hasil amandemen. Alasan ini yang sepertinya melandasi sikap Razman Nasuition untuk tidak mengungkap norma konstitusi mana yang menjadi dasar uji (toetsing gronden) UU PN.  Secara sumir Razman hanya menyatakan "ini dalam rangka apa beliau mau menguji, ya biasa lah pak Bintang ya, menguji banyak hal". 

Dalam laman resmi MK, perkara Nomor  107/PUU-XIV/2016 berisi gugatan Pasal 40 ayat (1) UU PN.  Dalam rilis media disebutkan bahwa SBP telah mengajar di FTUI selama 37 tahun, dan terhitung bulan Juli 2010 dinyatakan telah pensiun. Namun sejak pensiun dirinya belum menerima Surat Keterangan Penghentian Gaji, baru 6 Oktober 2016 SBP menerima dan menyerahkannya ke PT. Taspen.  Jika dihitung sejak pensiun pada Juli 2016 hingga Oktober 2016 maka SBP berhak atas dana pensiun selama 76 bulan. Namun, berdasar Pasal 40 ayat (1) UU PN, hak tagih kepada negara menjadi kadaluarsa setelah 5 tahun sejak jatuh tempo, sehingga hak pensiun yang dapat diterimakannya hanya 60 bulan. SBP kehilangan hak pensiun selama 16 bulan.

Menelusur alasan itu tak dapat disangkal jika pokok  gugatan berkait erat dengan hak SBP akibat birokrasi kura-kura.  Sementara, hasil amandemen UUD 1945, bab tentang perlindungan hak asasi mendapat porsi paling besar dalam empat kali amandemen. Amandemen kedua setidaknya telah menambahkan 10 Pasal tentang HAM dalam Pasal 28, yakni: Pasal 28A s.d 28J. Gugatan SBP dapat dikaitkan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, yakni : 'Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja'. 

Dus amandemen UUD 1945 terbukti memberi keuntungan konstitusional bagi SBP dan membuka jalan bagi dia untuk mengadu ke MK. Tak dapat disangkal pula MK yang menjadi tempatnya mengadu saat ini adalah produk amandemen ketiga konstitusi (lihat Pasal 24 ayat [2] dan Pasal 24C). Sikap politiknya yang menuntut kembali ke UUD 1945 dan menolak hasil amandemen merefleksi politik inkonsisten jika dibandingkan aksi hukum yang nyata dilakukan SBP.  Menolak amandemen dan menuntut kembali ke UUD 1945,  tetapi memanfaatkan keuntungan kostitusional hasil amandemen dengan mengajukan gugatan ke MK.

Inksonsistensi aksi hukum itu membuat terang sikap politik kedua dan ketiga dari pernyataannya:  Lengserkan Jokowi-JK,  dan Bentuk pemerintahan transisi sebagai sikap politik yang lebih orisinal.  Berbeda dengan Rachmawati yang sejak awal cukup konsisten dengan tuntutan kembali ke UUD 1945. Sikap politik yang kemudian diakomodasi SBP  sebagai tuntutan pertama.  Mengakomodasi kepentingan politik yang berbeda, dan menggabungkan dalam  satu agenda menjadi tiga tuntutan, adalah strategi politik yang sangat cerdas.

Kiranya, keputusan Polri melakukan penahanan terhadap SBP menemukan legitimasi dan alasan subyektifnnya dari gugatan ke MK yang dilakukan SBP sendiri.

Salam Kompasiana       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline