Sengkarut pembelian RS Sumber Waras (RSSW) bergulir kencang. Aroma politik dan hukum jelang pilkada DKI berbaur jadi bumbu perdebatan di banyak media, terutama di blog jamaah kompasiana. Semua sengkarut pendapat yang ada berhulu dari satu informasi, Laporan Hasil Pemeriksaan (audit LHP) investigasi BPK, potensi kerugian negara sebanyak 191 Miliar. Angka yang cukup fantastis.
Tak salah jika hasil audit itu menjadi pijakan bedah kasus ini. Analisis berdasar prinsip (hukum) kenegaraan dan administrasi, sekaligus menjadi uji pemahaman hukum auditor dengan hasil yang menimbulkan banyak intepretasi banyak politikus, penulis dan pengamat di musim panas menjelang pilkada DKI.
Hasil audit sebagai sumber masalah bermula dari perbedaan penilaian NJOP antara Pemda DKI dengan BPK atas tanah yang dibeli Pemda DKI. BPK memijak pada 'peta gambar lokasi' dan 'lokasi fisik tanah' yang berbatasan dengan Jl. Tomang, sehingga menghasilkan nilai NJOP di bawah jumlah yang telah dibayar Pemda DKI, yakni sebesar Rp. 20.775.000 per meter persegi. Timbul selisih harga dan memunculkan angka kerugian di atas.
Informasi menyodorkan jika sejak 1970 lokasi tanah telah dipecah dalam dua persil. Satu persil status hak milik dengan luas 33.478 M2 yang berbatasan dengan Jl Kyai Tapa, dan satu persil status HGB dengan luas 36.410 M2 (yang dibeli Pemda DKI) berbatasan langsung dengan Jl. Tomang. Legitimasi pemecahan baru terjadi tahun 1998 melalui pensertifikatan.
Sialnya, dua sertifikat yang ada tercatat dalam Dinas Pelayanan Pajak DKI dalam 'satu lokasi' dengan luas total 69.888 M2 di SPPT PBB dalam satu alamat persil, yakni di Jl. Kyai Tapa. Catatan alamat ini pula yang menjadi dasar pungutan PBB oleh Pemda DKI dalam hal ini Dinas Pelayanan Pajak, serta memunculkan dua sertifikat dalam satu alamat sama... Jl. Kyai Tapa.
Masalah di atas adalah problem khas administrasi pertanahan Indonesia yang jauh dari kata sinergis dan terpadu. Saat satu organ pemerintah (BPN) memecah satu lokasi tanah dalam dua sertifikat (apalagi dalam dua lokasi dengan batas jalan berbeda), organ pemerintah lain (Dinas Pelayanan Pajak) tidak segera menyesuaikan catatan alamat yang menjadi dasar penghitungan NJOP dan pajaknya.
Nyatanya... jika dilakukan, negara bakalan dirugikan, karena akan ada penurunan NJOP di satu persil, tanah yang semula Jl. Kyai Tapa menjadi NJOP Jl. Tomang. Penurunan pemasukan jelas tidak ada dalam kamus negara... negara tidak boleh rugi hanya karena pemecahan persil, maka NJOP tetap memijak pada alamat Jl. Kyai Tapa.
Kesimpulannya jelas, sejak awal pemecahan tanah dalam dua persil... negara (Pemda DKI) telah menikmati Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 'bermasalah' dengan NJOP Jl. Kyai Tapa.
Memijak alur pikir BPK yang menempatkan obyek pajak dalam wilayah NJOP Jl. Tomang, jelas negara diuntungkan, karena realitasnya pungutan PBB didasarkan pada nilai NJOP Jl. Kyai Tapa. Dan itu telah berlangsung sejak saat pertama pemecahan terjadi.
Pertanyaan 'bodohnya', mengapa ketika puluhan tahun negara (Pemda DKI) telah memungut dan menikmati pajak (PBB) 'tanah bermasalah' berdasar NJOP Jl. Kyai Tapa tidak pernah menjadi masalah? Bukankah BPK berkali sudah melakukan audit? Sebaliknya, saat negara membutuhkan dan beniat membeli harus didasarkan pada NJOP Jl. Tomang yang lebih murah dan menjadi masalah serius?
Jika begitu, saudara2 kita di tanah karo sana pasti akan bilang '... negara macam apa pula ini?', maunya menang sendiri. Pungut pajak pakai harga Mercy (Jl. Kyai Tapa), eeh... gantian mau beli...maunya pakai harga Bajaj (Jl. Tomang).