Oleh: Pretty Luci Lumbanraja
"Nina, kamu cantik, juga ramah, Kakek sangat menyukaimu".
Dua tahun sudah Nina menghabiskan waktu di Taiwan. Pada akhir semester tiga ia memutuskan untuk putus kuliah. Sungguh keputusan yang terberat di dalam hidupnya. Bagaimana bisa? Ia termakan hasutan para senior yang menyatakan bahwa kuliah di Taiwan tampak menjanjikan. Ia pun memutuskan untuk menjadi seorang TKI. Ia tergiur akan gaji menjadi seorang TKI di Taiwan yang sangat menjanjikan. Gaji disana termasuk yang tertinggi di banding negara penempatan Asia Pasifik lainnya. Saat ini, hanya ini yang bisa dilakukan Nina untuk memperbaiki kesalahannya. Bekerja dengan giat demi sesuap nasi, pupus sudah niatnya untuk kembali belajar.
Sudah dua tahun juga dia tidak kembali ke kampung halamannya, Desa Marsangap, di Tobasa. Rasa malu dan sedih terus merundung dirinya. Ia menutup semua akun media sosialnya. Ia menghapus semua kontak orang-orang yang dikenalnya. Ia menutup diri dari pergaulannya baik di tempat tinggal, di lingkungan perkuliahan, sahabat-sahabatnya termasuk keluarganya juga. Sesekali ia memberi kabar itupun sekali dalam selang tiga bulan kepada kedua orangtuanya yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan tidak perlu mengkhawatirkannya. Ia dapat belajar dengan baik disini, makan dan tidur selalu teratur dan menjanjikan lulus tepat waktu dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan seperti yang telah ia raih dalam program sarjana Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan teknik pertanian.
Nina mengubah penampilannya seratus delapan puluh derajat. Kini ia tidak udik lagi. Dirinya yang dulu dengan kaca mata setebal minus dua, rambut yang selalu di kepang belakang bagai kucir kuda dengan menggunakan karet gelang biasa dan pakaian yang selalu berukuran satu kali lebih lebar menutupi badannya. Ia dendam pada dirinya sendiri, ia merasa dibodoh-bodohi. Gadis lugu yang gampang dibodoh-bodohi. Ia menyadari karena keudikannya maka senior- seniornya menjadi seenaknya membodohinya. Yang membuat ia lebih memilih untuk kuliah di Taiwan dengan menyebutkan bahwa Taiwan adalah negara dengan kualitas pendidikan level dunia, sehingga ia menolak tawaran kuliah di UGM untuk riset pengembangan teknologi budidaya padi dengan sistem larik gogo yang dapat diaplikasikannya untuk meningkatkan produktivitas padi di desanya. Ia menyadari bahwa pendidikan di Indonesia lebih baik dan lebih enak karena ada kesempatan baginya untuk berkarya bagi bangsa. Ia juga meyakini pernyataan dari Prof Rhenald Kasali seorang Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dalam acara seminar yang pernah dihadirinya bahwa masa depan bangsa Indonesia justru ada di desa. Didukung desanya yang memiliki keunggulan-keunggulan yaitu udara dan air yang bersih serta pangan yang sehat yang jika dikelola dengan baik dapat menentukan nasib bangsa ke depan. Namun, semua impiannya sirna sudah dan terkubur karena hasutan dan kebohongan. Itulah yang membuat ia menolak melanjutkan kuliahnya dan memilih menjadi TKI. Ia telah tersesat di negeri Formosa.
Nina ingin kembali ke Indonesia, namun tidak bisa. Ia takut dan malu mempertanggungjawabkan apa yang telah dijanjikannya pada keluarga dan masyarakat di desanya. Masyarakat desa yang sudah menaruh harapan yang tinggi kepadanya. Banyak pemuda-pemuda disana yang berbondong-bondong hijrah ke kota karena merasa bahwa di desa tidak ada kemajuan yang mereka peroleh. Padahal potensi di desa mereka apabila dikembangkan dapat menekan angka urbanisasi. Toh juga banyak pemuda-pemuda di kota yang juga mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang membuat mereka berujung pada pengangguran dan kembali lagi ke desa.
Nina bekerja dengan giat dan tidak kenal lelah. Hingga tidak terasa telah memasuki tahun ketiga ia menetap di Taiwan. Seharusnya ia sudah kembali membawa gelar yang telah dinantikan keluarganya. Enggan memberi kabar, Nina pada akhirnya menutup komunikasi pada keluarganya. Sungguh sedih perasaannya. Setiap hari minggu ia pergi ke Gereja untuk mendapatkan pemulihan dengan berdoa dan berserah kepada Tuhan tentang masa depannya. Ia tetap saja seorang gadis yang lemah yang bersembunyi di balik penampilan yang indah. Bukan ini jati dirinya. Ia tidak mau menjadi sosok yang kejam yang terus membohongi diri-sendiri. Hingga sampai pada akhirnya ia bertemu dengan anak bungsu dari orangtua yang ia rawat di panti jompo sehari-hari. Berawal dari pertemuan, Zhang Wei, nama dari Pria yang sangat tampan tersebut, mulai setiap hari mengunjungi ibunya di panti jompo tempat Nina bekerja. Keduanya saling berbagi satu sama lain dalam suka dan duka. Semuanya bermula dari perjumpaan kunjungan-kunjungan orang tua, lama waktu telah terselami, keduanya menjadi akrab dan membangun cinta kasih. Sama halnya dengan Nina, ia juga mengunjungi Zhang Wei di tempat ia bekerja, sebagai seorang asisten dosen muda yang berperan juga sebagai peneliti di sebuah laboratorium Pertanian di salah satu Universitas Negeri Taiwan yang tidak jauh dari tempat Nina bekerja.
Sambil menunggu Zhang Wei selesai bekerja, Nina datang lebih awal untuk menikmati udara kampus yang sejuk dan asri. Kampus ini menempati lanskap terbuka dari seratus tiga puluh dua hektar di bukit, dengan lebih dari dua ratus ribu pohon dari berbagai jenis. Sehingga tak ragu, suasananya yang sangat sejuk, indah, asri dan menenangkan hati. Udara yang sejuk karena di sekeliling taman ditumbuhi banyak pohon-pohon tinggi yang rindang. Bangunannya yang elegan dari gaya arsitektur yang berbeda, dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, ruang terbuka hijau, dan jalan berliku yang diapit dengan pohon-pohon berbunga dan semak-semak mekar di musim yang berbeda. Latar yang indah menjadi saksi nyata setiap mereka bermuhibah. Zhang Wei sangat mencintai Nina, begitu juga sebaliknya. Zhang Wei merasa bahwa Nina adalah sosok yang sangat penyayang dan memiliki hati yang lembut seperti ibunya. Namun, semenjak ibunya menderita Alzheimer parah, ia tidak bisa menerima kasih sayang lagi seperti dulu. Begitu juga dengan Nina, bersama dengan Zhang Wei, perasaan sedih Nina akan keluarga dan masa depannya mulai terobati. Hingga pada suatu ketika Nina diajak untuk menemani Zhang Wei menyelesaikan suatu penelitian untuk pengembangan tanaman palawija di Taiwan. Nina sangat bersemangat untuk membantu Zhang Wei menyelesaikan proyek penelitian tersebut. Zhang Wei pun tidak menyangka bahwa Nina memiliki rasa ingin tahu, pengetahuan dan keterampilan yang baik tentang pertanian selama mereka menggelutinya bersama-sama secara muwalat sampai berbulan-bulan. Nina pun juga tidak menyadari akan kecintaannya pada pertanian tidak bisa disembunyikan lagi di depan Zhang Wei. Timbul rasa penasaran Zhang Wei tentang latar belakang Nina. Nina menceritakan cita-cita sesungguhnya dan tujuannya mengapa bisa sampai di negeri Taiwan sehingga Zhang Wei bisa berjumpa dengannya. Zhang Wei menjadi sedih ketika mengetahui semua itu. Apalagi saat ia tahu bahwa Nina harus kembali ke Indonesia dan tidak bisa berlama-lama lagi di Taiwan. Kecintaannya terhadap Indonesia sungguh mendalam dan telah lahir kembali.
Nina bertekad untuk kembali tanpa memikirkan apapun yang terjadi baik di Indonesia maupun di Taiwan. Sebelum perasaannya semakin mendalam kepada Zhang Wei, ia mulai membentengi diri untuk tidak membuat luka yang baru lagi di hati. Dari awal ia tidak menyadari bahwa Zhang Wei akan sungguh-sungguh mencintainya sehingga sulit untuk melepaskannya. Zhang Wei yang baik hati dan mau menerimanya meskipun ia hanyalah seorang perawat yang berbeda kewarganegaraan dan kepercayaan agama dengannya. Tidak mungkin berlama- lama lagi Nina menyia-nyiakan waktunya di Taiwan. Ia telah menemukan jawaban Tuhan atas doanya di dalam pergumulannya selama ini. Dengan gaji yang telah di tabungnya selama ini, ia bertekad untuk kembali lagi dan berkuliah di Indonesia di Universitas Gadjah Mada untuk mewujudkan kembali cita-citanya yang nyaris terkubur dalam-dalam.
Setelah mengatur pertemuan untuk terakhir kalinya. Mereka memutuskan untuk berpisah. Zhang Wei menerima kepergian Nina kembali ke Indonesia untuk selama-lamanya. Nina sangat sedih, tapi apa mau dikata, kecintaannya terhadap Indonesia dan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa jauh lebih besar dibandingkan kepada Zhang Wei.