JAILOLO-Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia merupakan wadah belajar yang siap melahirkan dan mempersiapkan kader-kader yang berkompeten di bidangnya. Pijak awal dimulai dari founding fathers GMKI, Dr. Johannes Leimena.
Dr. Johannes Leimena dilahirkan di Ambon, Maluku, tanggal 6 Maret 1905 atau 114 tahun silam. Leimena adalah orang yang paling sering menempati jabatan sebagai menteri dalam sejarah kabinet pemerintahan Republik Indonesia. Selain itu, tokoh ini merupakan satu-satunya orang yang menjabat menteri selama nyaris dua dekade tanpa terputus. Jabatan yang pernah diemban Leimena di antaranya adalah Menteri Kesehatan (1947-1956), Menteri Sosial (1957-1959), Wakil Perdana Menteri (1957-1966), Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi (1962 -1964), hingga Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia (1966).
Leimena terlibat dalam 18 kabinet yang berbeda, dari Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966). Selain itu, Dr. Johannes Leimena yang akrab di sapa dengan nama Om Jo juga pernah menggagas "PARKINDO", Partai Kristen Indonesia yang memiliki andil dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Adapun maksud dari kalimat "Baku Tongka Bukang Baku Dibo" yang masih eksis di telinga masyarakat yang memiliki kaitan dengan GMKI hari ini. "Baku Tongka Bukang Baku Dibo" sendiri merupakan ejaan dari bahasa Daerah Maluku Utara yang memiliki arti: "Saling Mendukung Bukan Saling Menjatuhkan". Frasa ini seharusnya mengatur sejak awal berdirinya GMKI sehingga Gerakan yang mengedepankan iman kristen menjadi gerakan yang benar-benar peduli terhadap sesama dan kesejahteraan.
Disisi lain, diksi yang sering salah kaprah ialah "Baku Tongka" atau "Saling Mendukung", karena dalam ejaan bahasa daerah Maluku Utara "Baku Tongka" dan "Baku Dibo" merupakan kalimat egaliter namun memiliki perbedaan makna. Sejauh ini, GMKI masih jauh dari penggunaan kata"Baku Tongka Bukang Baku Dibo".
Terlepas dari penjabaran di atas seharusnya menjadi salah satu cerminan terhadap sikap GMKI bagi seluruh kader yang mana harus saling mendukung dan menopang di setiap lini politik bangsa Indonesia sehingga mampu menjadi kader yang bernafaskan karakter Dr. Johannes Leimena dalam perjalanan intelektualnya. Baik itu dalam sisi pergolakan politik maupun dalam tatanan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
GMKI sedang kehilangan arah. Dilihat dari posisi strategis dari seorang kader yang membidangi kompetensi diri, masih cenderung saling menjatuhkan tanpa ditimbang atau masih melekat pada ejaan "Baku Dibo" terhadap sesama kader. Hal ini semakin diperkeruh dengan adanya dogma senioritas dalam GMKI. Seharusnya, seluruh kader harus mampu melalui yang namanya komunikasi satu pintu yakni pintu GMKI itu sendiri guna untuk mengeja kata "Baku Dibo" menjadi "Baku Tongka" atau "Saling Mendukung Bukan Saling Menjatuhkan".
Jampi diri sendiri, sengaja meredam emosi.! Secara pribadi, saya kemudian memiliki keinginan untuk segera mungkin menelan pil anti dogma yang selama ini mengadopsi nalar tanpa pranala yang jauh dari esensi perjuangan founding fathers GMKI. Kalimat gila di percakapan pandora sering terjadi salah kaprah ialah: "Yang Salah Orangnya Bukan GMKI nya" padahal tanpa disadari kita telah di steampel GMKI sedari awal kita mengakui dan mengikut Yesus sebagai sang Kepala Gerakan kita.
Adapun sesama kader kita sering tidak saling menghiraukan apalagi mempedulikan. Hal ini memicu pada stigma yang kemudian beredar dan mengakar terhadap kader yang masih merasa gandrung terhadap pergerakan GMKI dalam kehidupan Bangsa dan Negara. Kecemasan dimulai dari pangkal yang berasal dari hati dan otak yang merembet pada watak senioritas yang mewakili sebagai bapak dan ibu dalam rumah tangga GMKI.
Dilematis ber-GMKI sejauh ini meliputi kepentingan yang katanya adalah kepentingan bersama. Karena sejauh ini masih banyak kader-kader yang mementingkan diri sendiri dalam mengawal hak-hak banyak orang termasuk sesama kadernya. Katakanlah ini adalah Kerancuan Kepentingan. Kepentingan yang mengalami kegentingan.!
Andil kita hanya sebatas di kalimat kesejahteraan yang sangat sulit terealisasikan. Mengapa ? Karena kita masih belum memahami konteks kesejahteraan dalam GMKI. Menurut saya, Kesejahteraan dimulai dari saling mendukung yang artinya sesama kader harus sama-sama bahu-membahu dalam mengawal semua kepentingan kadernya. Logikanya, sesama kader saja kita tidak mampu saling menopang apalagi berbicara tentang kesejahteraan, naif rasanya menyatakan diri sebagai kader GMKI.