Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Penyebutan Wanita dan Perempuan di Indonesia

Diperbarui: 7 Juni 2021   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkaca pada bagaimana makna wanita di masa Orde Baru dimaknai sebagai konco wingking bagi laki-laki, maka pasca reformasi penggunaan diksi perempuan lebih banyak digunakan.

Diskursus penyebutan wanita ataukah perempuan untuk menyebutkan salah satu jenis gender ternyata memiliki sejarah yang panjang. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi politik yang menyertainya, serta makna yang tersirat didalam penyebutannya. Di awal kemerdekaan, penyebutan wanita lebih sering digunakan. Namun pasca reformasi, penyebutan wanita sudah mulai berganti dengan perempuan. Bahkan nama kementeriannya pun juga berubah dari Menteri Negara Peranan Wanita kemudian berubah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Wanita dan Perannya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan

Wanita diyakini berasal dari budaya Jawa dengan sistem patrilinealnya. Wanita memiliki makna wani ing tata, dan digunakan sebagai bentuk penghormatan bagi wanita itu sendiri. Penghormatan itu disebabkan oleh perannya dalam berjuang merebut kemerdekaan, memperjuangkan kesetaraan hak di berbagai bidang, dan masih bisa membagi waktunya untuk mengurusi hal-hal domestik di masa tersebut.

Menjelang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan penyebutan wanita lebih sering digunakan. Kesadaran wanita untuk bergabung dalam perkumpulan semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan menjamurnya perkumpulan wanita yang mayoritas bergerak di bidang social kemasyarakatan. Wanita memiliki arti yang agung, luhur, dan biasa digunakan sebagai nama lembaga atau organisasi, seperti KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), Forum Wanita Jawa Barat, Majelis Kewanitaan, PWM (Persatuan Wanita Majene), Laskar Wanita Melati, dan lain sebagainya.

Perkumpulan wanita bersamaan dengan kaum pria saling bahu membahu dalam memperkuat barisan melawan. Kesetaraan antara peran pria dan wanita seimbang, wanita tidak hanya mengurusi perlengkapan di garda belakang, namun juga dibekali dengan kemampuan militer, keterampilan operator radio yang bertugas menyiarkan perkembangan perjuangan rakyat dalam melawan penjajah, dan ikut serta dalam penghimpunan dana. (Manus: 1985)

Pasca kemerdekaan, perjuangan perkumpulan wanita terus berlanjut untuk menyuarakan hak-haknya. Salah satunya adalah hak untuk ikut serta dalam politik, hak untuk memperoleh pekerjaan dan upah yang layak dan kesetaraan dalam kehidupan rumah tangga. Perjuangan ini membuahkan hasil yang memuaskan, antara lain dikeluarkannya UU No 80 tahun 1958 tentang kesamaan gaji pria dan wanita untuk sektor yang sama, dan diberi hak untuk menjadi anggota parlemen.

Legacy patriary dan ideologi ibuisme negara di masa Orde Baru

Memasuki masa orde baru, makna wanita yang digunakan sebagai bentuk penghormatan telah mengalami distorsi. Wanita tak lagi dimaknai sebagai individu yang berdaya namun diartikan sebagai bagian dari kesempurnaan pria. Narasi domestikasi wanita sebagai bentuk kesempurnaan yang hakiki terus digaungkan.

Organisasi dan perkumpulan wanita harus berada di bawah naungan pemerintah. Soeharto secara massif mereproduksi superioritas laki-laki atas perempuan. Posisi wanita dalam struktur organisasi ditentukan oleh jabatan suaminya, bukan karena kapasitasnya dalam memimpin. Hanya wanita yang suaminya berprofesi sebagai politikus saja yang diberi hak untuk masuk dalam organisasi politik.

Dibentuklah Darma Wanita untuk para Istri PNS, Persit Kartika Candra Kirana untuk perkumpulan istri TNI AD, perkumpulan Bayangkari untuk istri polisi. Dimana segala aktifitas dalam perkumpulan tersebut tidak boleh berseberangan dengan penguasa, dan AD/ART yang dibentuk harus sesuai dengan keinginan penguasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline