Lihat ke Halaman Asli

Pipit Agustin

Wiraswasta

Menyikapi Aksi Pembakaran Kitab Suci Al-Qur'an

Diperbarui: 8 Februari 2023   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kebebasan berekspresi adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun, apa yang sesuai hukum, belum tentu patut."

Inilah pernyataan Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson terkait aksi pembakaran Al-Qur'an yang dilakukan salah satu warganya. Pelaku aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia adalah seorang tokoh akstremis antiislam sekaligus pendiri gerakan sayap kanan Denmark, Rasmus Paludan. Bahkan Paludan sesumbar bahwa dia akan terus-menerus membakar Al-Qur'an setiap Jum'at sampai negaranya diterima sebagai anggota NATO. Tahun 2019, Paludan melakukan aksi perdananya membakar Al-Qur'an yang ia bungkus dengan daging babi.

Aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia dapat kita lihat sebagai bagian dari kebencian terhadap islam. Aksi ini dan sikap pemerintah Swedia merupakan cerminan kebebasan berekspresi yang dijamin dalam sistem politik demokrasi. Namun, kebebasan yang dimaksud nyatanya tidak pernah berlaku bagi umat islam. Misalnya, pelarangan burqa di Prancis, pelarangan kerudung di India, Belanda, Jerman, dll. Bukankah, atas nama kebebasan berekspresi, hal ini seharusnya dibiarkan dan dilindungi?

Hal ini semakin memberikan bukti nyata bahwasanya demokrasi hanyalah ilusi bagi umat islam. Demokrasi memberi ruang kebebasan termasuk kebebasan menista agama dan kitab sucinya sedangkan islam melarang kebebasan yang demikian. Bagi kaum muslim, hukum syarak adalah 'batasan' dalam berekspresi.

Dalam pandangan islam, aksi pembakaran Al-Qur'an termasuk ke dalam dosa besar. Jika pelakunya muslim, maka ia dinyatakan kafir. Hal ini berdasarkan penuturan ulama, "Ketahuilah siapa yang merendahkan Al-Qur'an atau terhadap mushaf, sesuatu yang ada dalam Al-Qur'an, atau mencela keduanya...maka ia telah kafir berdasarkan ijmak kaum muslim." (Qadhi Iyad, dalam Kitab Asy-Syifaa bi Ta'riif Huquuq Al-Msthafaa, 2/110, sebagaimana dikutip dari bulletin kaffah edisi 280).

Hari ini, kaum muslim berhadapan dengan negara-negara yang cenderung memusuhi islam. Kaum muslim yang terpecah belah menjadi banyak nation state nyatanya tidak mampu melawan dan menghukum para penista agama karena besarnya hambatan yang berkedok demokrasi dan HAM. 

Kondisi ini bertolak belakang dengan era kekhalifahan. Pada saat itu, Khalifah Sultan Abdul Hamid II (1876--1918) dengan tegas mengultimatum Inggris dan Prancis terkait rencana pementasan drama yang menghina Rasulullah saw. Kalifah berkata, "Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami. Saya akan kobarkan jihad al akbar (jihad besar). Inggris dengan serta merta melupakan keinginannya mengamalkan "kebebasan berpendapat" dan pementasan drama itu dibatalkan.

Sikap Khalifah dan kondisi umat islam yang memiliki persatuan politik di bawah payung khilafah, adalah syarat terwujudnya kekuatan dan bargaining position bagi umat islam. Inilah yang dibutuhkan umat islam hari ini dan menjadi PR besar umat islam dalam rangka mewujudkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya Imam (khalifah) itu laksana perisai. Orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya."

Barat yang membenci islam begitu bebal. Berulangkali mereka melakukan penistaan terhadap umat islam, ajarannya, dan kitab sucinya. Di sisi lain, kondisi kaum muslim begitu lemah secara politik akibat ketiadaan khilafah sebagaimana era sebelumya. Kondisi ini tidak akan pernah menguntungkan bagi kaum muslim. Iklim demokrasi dan HAM bukanlah habitat yang cocok bagi komunitas muslim di manapun mereka berada. Sebaliknya, Demokrasi dan Ham menjadi ruang yang kondusif bagi berkembangnya para penista agama.

Hari ini, umat islam  hanya bisa geram dan mengutuk berbagai aksi penistaan terhadap islam tanpa bisa membuat jera pelakunya. Umat islam masih meyakini bahwasanya pembakaran Al-Qur'an adalah dosa besar. Namun, sebagian besar mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa meninggalkan hukum-hukum Al-Qur'an juga merupakan dosa besar. 

Karenanya, butuh energi besar untuk mengembalikan kesadaran umat terhadap posisi Al-Qur'an, yakni sebagai source of law, bukan sekadar book of law. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an surah al-Maidah ayat 44, "Siapa saja yang tidak berhukum pada apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah kaum kafir."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline