Seorang bocah cilik yang hidup dengan serba keterbatasannya. Ia bukan hanya tidak tidak bisa melihat, tetapi juga tidak bisa mendengar. Mulutnya hanya mampu untuk bersuara, meski tidak untuk bicara. Bahkan isyarat suara yang ia keluarkan kerapkali tidak memadai untuk bisa dipahami orang lain. Dalam kondisi seperti itu sang bocah cilik itupun hanya bisa berontak dan menangis sejadi-jadinya.
Orang tuanyapun hanya bisa bersedih dan pasrah dengan keadaan. Namun bersyukur ada saja orang yang berhati malaikat. Itulah guru setianya yang mendedikasikan diri komitmen mendidik dan menuntunnya, meski ia akui di tahun-tahun pertama tidaklah semudah yang ia bayangkan.
Suatu hari ia di ajari oleh gurunya menyebut kata "water" namun bocah cilik itu begitu kesulitan menyebutkannya. Tak jarang iapun stress dan membanting bonekanya hingga berkeping-keping, ketika berusaha mengeja kata tersebut namun tak kunung bisa juga. Sang gurupun tidak kehabisan cara. Suatu saat ia membawanya jalan-jalan ketepi sungai kecil. Disana ia menengadahkan tangan bocah kecil itu sambil membiarkan semburan air menerpah lentik jemarinya.
Diatas semburan itu, iapun kembali di ajarkan kata "water." Melalui sentuhan sejuk pada tangannya itulah kemudahanpun mulai terjadi. Disanalah ia mulai menyadari bahwa segala sesuatu memiliki nama yang merupakan cikal bakal bagi lahirnya konsep dan gagasan.
Bocah kecil itulah Helen Keller, penyandang tunanetra dan tunarungu pertama di dunia yang meraih gelar sarjana, dan mampu menguasai beberapa jenis bahasa. Kesuksesannya sungguh menakjubkan di pentas dunia. Bahkan kata-kata bertuahnya, yang sarat dengan makna kehidupan, banyak dikutip orang di berbagai penjuru dunia.
Pertanyaannya, mengapa ia bisa sehebat itu? padahal secara fisik ia bukanlah siapa-siapa. Ternyata dibalik gelegar nama Helen Keller yang mendunia, ada sosok spektakuler berdiri dibelakangnya. Itulah Anne Sullivan sebagai sosok guru tangguh dan tak pernah mengenal kata menyerah dalam mendidik.
Setiap kita pada hakikatnya adalah guru. Dan guru pertama anak sebelum memasuki usia sekolah tak lain adalah orang tuanya sendiri. So, wahai para orang tua, jangan pernah menyerah dalam mendidik anak. Lakukan yang terbaik dan teruslah berbenah.
Juga kepada para guru sekolah, sungguh mulia profesimu. Jangan pernah mencoreng profesi itu dengan melakukan sesuatunya hanya sekedar gugur kewaiban. Ketahuilah, di tanganmu tersimpan potensi anak, yang kelak akan membuka mata dunia. Aminn... Semoga adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H