Lelaki paruh baya itu menggaruk-garuk kepala di hadapan cangkir kopi sorenya yang bercampur krimer. Saya yakin kepalanya tidak gatal. Advis saya sajalah yang mengaktifkan fungsi refleks tangannya dengan jemari gempal itu.
Di sore hari yang dingin selepas hujan lebat ini saya beruntung berkesempatan ngopi bareng dengan seorang eksekutif perusahaan jasa finansial yang menjadi klien saya. Perusahaan ini punya semacam "kredo suci": Kepercayaan (trust) memang bagus, tapi kendali (control) tetap nomor satu.
Yah, menilik karakter bisnisnya saya rasa tidak ada yang salah dengan kredo semacam itu. Hanya saja, guna menyukseskan digital transformation yang sedang kami lancarkan di sini, bolehlah kami ajukan titik kesetimbangan baru antara trust dan control itu.
Agar digital transformation-nya sukses, mau tidak mau perusahaan harus berubah. Guna mampu unggul dalam persaingan di era digital yang berbasiskan customer experience, perusahaan harus mengusahakan paling tidak 2 hal ini:
1. Meningkatkan level innovativeness-nya.
2. Mempercepat segala proses yang terlibat dalam bisnisnya.
Nah, untuk merealisasikan kedua hal tersebut, para staf di garda depan (frontliner) mesti diberikan kebebasan serta tanggung jawab lebih daripada yang selama ini mereka emban. Lalu, perusahaan juga harus mengenyahkan beragam penghambat birokratis dan organisasional yang memperlemah power para frontliner dalam mengambil keputusan.
Tampak lelah, lelaki berjari gempal itu meneguk kopi dan kembali menggaruk kepalanya. Ternyata kopinya kopi hitam, dengan entah berapa banyak taburan sesuatu yang bukan krimer di atasnya.
***
Penulis adalah Senior Consultant di Organization Transformation International (OTI). Email: prayudi@otiinternational.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H