Pada saat Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, sektor pertanian menghadapi beragam tantangan yang memengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara yang baru merdeka ini. Tantangan utama di bidang pertanian meliputi infrastruktur yang terbatas, kurangnya teknologi modern, sistem pertanian tradisional, dan keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang pertanian.
Infrastruktur pertanian di Indonesia pada masa itu masih terbatas. Keterbatasan infrastruktur seperti irigasi, jalan, dan transportasi menyulitkan petani untuk mengakses pasar-pasar utama. Tanpa infrastruktur yang memadai, distribusi hasil pertanian menjadi terhambat, menghambat pertumbuhan ekonomi sektor ini.
Pada masa itu, sebagian besar pertanian masih mengandalkan metode tradisional dan alat-alat sederhana. Pertanian dijalankan secara subsisten, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan lokal. Kurangnya teknologi pertanian modern seperti pupuk kimia, pestisida, dan varietas tanaman unggul juga membatasi potensi peningkatan hasil pertanian.
Pola tanam yang terbatas dan ketergantungan pada komoditas tertentu menjadi tantangan serius. Beberapa daerah tergantung pada satu jenis tanaman atau komoditas, menyebabkan kerentanan terhadap fluktuasi harga dan kondisi cuaca yang ekstrim. Selain itu, keberagaman produksi pertanian terbatas karena pola tanam yang kurang bervariasi.
Upaya pemerintah dalam membangun sektor pertanian pasca-kemerdekaan terfokus pada modernisasi dan peningkatan produktivitas. Investasi dalam infrastruktur pertanian seperti irigasi, pembangunan jalan, dan transportasi menjadi fokus utama. Pengenalan teknologi baru dan promosi varietas tanaman unggul juga dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian.
Norman Borlaug adalah tokoh kunci di balik konsep Revolusi Hijau, sebuah gerakan pertanian yang diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20. Revolusi Hijau adalah upaya untuk meningkatkan produksi pertanian melalui penggunaan varietas tanaman yang lebih unggul secara genetis, teknologi pertanian modern, dan praktik manajemen yang lebih efisien. Borlaug, seorang ilmuwan pertanian Amerika Serikat, menjadi terkenal karena karyanya dalam pengembangan varietas gandum yang memiliki hasil yang jauh lebih tinggi dan lebih tahan terhadap penyakit. Melalui penemuan dan penyebaran varietas ini, Borlaug berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian di banyak negara, terutama di Asia dan Amerika Latin.
Revolusi Hijau adalah sebuah program modernisasi sistem dan budaya pertanian di negara berkembang, terutama di Asia, yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan mengubah penggunaan teknologi tradisional pada sektor pertanian dengan menerapkan teknologi modern seperti pupuk buatan, pestisida, bibit unggul, peralatan pertanian modern, dan sistem budidaya pertanian yang baru. Di Indonesia, program Revolusi Hijau dimulai pada masa Orde Baru melalui program Bimas (Bimbingan Massal) dan Panca Usaha Tani yang mendorong intensifikasi pertanian dan penggunaan teknologi modern. Program ini berhasil meningkatkan produksi pangan dan mencapai swasembada beras di Indonesia
Revolusi Hijau di Indonesia merupakan peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui penggunaan varietas tanaman unggul, teknologi pertanian modern, dan praktik manajemen yang lebih efisien. Peristiwa ini menjadi bagian penting dari transformasi sektor pertanian Indonesia.
Pada masa itu, Indonesia menghadapi krisis pangan yang serius. Demi mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan produksi padi, tanaman pangan utama, melalui berbagai upaya dalam Revolusi Hijau
Beberapa langkah penting dalam sejarah Revolusi Hijau di Indonesia meliputi:
Penggunaan Varietas Tanaman Unggul: Salah satu aspek penting dari Revolusi Hijau adalah pengenalan varietas padi yang lebih produktif. Varietas seperti IR-8 diperkenalkan yang memiliki hasil yang jauh lebih tinggi daripada varietas sebelumnya.