Lihat ke Halaman Asli

Prayogi R Saputra

I am Nothing

Ketika Musim Jajanan Tiba di Jogja

Diperbarui: 5 April 2022   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ketika Musim Jajanan Tiba

 Semar mendem, Meniram, Kipo, Legomoro, Satelit, banjar, ukel, krasikan, itu semua, Bestie, adalah nama-nama jajanan khas Jogja. Masih ada puluhan nama lagi, yang tentu saja, Saridin sulit menghafalnya. 

Biasanya, puluhan aneka jajanan dan minuman itu di jajakan di Pasar Ramadhan Kauman (PRK). Bentuknya aneka rupa, rasanya konon juga aneka rasa, warnanya pun aneka ria. 

Hijau, biru, merah muda, jingga, kuning, hijau daun rebus, kecoklatan, kekuningan, merah menyala dan banyak lagi warna-warna menggoda, kabarnya.

Pasar Ramadhan Kauman buka setahun sekali selama satu bulan. Tentu saja di bulan Ramadhan. Lokasinya di Kauman, sepelemparan batu ke arah barat dari titik nol Jogja di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. 

Pintu masuknya di sebuah gang ketjil, tepat di depan Rumah Sakit PKOe Muhammadiyah, Jogja. Pasar Ramadhan Kauman juga bisa diakses dari belakang. Menelusuri labirin kampung tua Kauman dari arah masjid Gede atau dari arah langgar kidul.

Setiap sore, selepas ashar hingga menjelang buka puasa, PRK ramai sekali. Ibaratnya, seluruh orang Jogja tumpah-ruah-melimpah di sana. Parkiran motor juga meluber hingga jauh ke arah barat, timur dan utara. 

Ramadhan menjadi pintu berkah, bagi Ibu rumah tangga yang tetiba mendapat kesempatan membuat jajanan, para pedagang yang hanya menjualkan, juga anak-anak muda lokal yang mengatur parkir.

Tapi yakinlah Bestie, bahwa semua itu hanya katanya. Bertahun-tahun Saridin hidup di Jogja, sekali pun tak pernah berkunjung ke sana. 

Mungkin, sahabat sekaligus seniornya @Yogie Maharesi sering belanja-belanja di sana. Makan enak sambil menenteng tas penuh berisi jajanan. Juga sahabat dan kawan-kawan lainnya, tapi tidak bagi Saridin. Pasar Ramadhan Kauman, yang digemari dan dikunjungi banyak orang,  seolah berubah menjadi mitos baginya. Mitos yang sulit dijamah, dan tak terpikirkan.

Memang, nyaris setiap hari, menjelang senja, dia melewati Pasar Ramadhan Kauman. Tapi bukan untuk berhenti. Hanya lewat saja. Ada perasaan gentar, kecil, dan tak berarti, bahkan untuk sekedar menoleh. Maka, setiap kali melintas, dia tak pernah menoleh. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline